Suaramuslim.net – Hampir tengah malam pada akhir tahun, sebuah pengumuman besar keluar dari Gedung Kementerian Keuangan. Presiden Prabowo Subianto, didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengungkapkan perubahan penting: kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. Bagi masyarakat umum, tarif PPN tetap 11%. Langkah ini disebut sebagai bukti keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil.
Kebijakan ini, yang sebelumnya menjadi isu panas selama berbulan-bulan, kini tampaknya telah mendapat “solusi kompromi.” Namun, keputusan ini membuka berbagai pertanyaan: apakah langkah ini benar-benar sebuah keberpihakan tulus, atau justru strategi cerdas untuk meredam kritik?
Latar belakang kebijakan
PPN menyumbang hampir setengah penerimaan pajak nasional, membuatnya menjadi alat penting dalam menjaga keseimbangan fiskal. Tahun 2024, pemerintah menghadapi defisit anggaran 2,3% dari PDB, masih dalam batas aman tetapi cukup untuk mendorong perlunya sumber pendapatan tambahan. Kenaikan PPN ke 12% telah lama direncanakan sebagai bagian dari strategi tersebut.
Namun, Presiden Prabowo dan timnya memahami risiko ekonomi dan politik dari menaikkan pajak secara menyeluruh. Konsumsi domestik, yang menyumbang 55% terhadap PDB, adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Mengganggu daya beli rakyat berarti menantang stabilitas ekonomi itu sendiri.
Analisis efek ekonomi
Barang dan jasa mewah memang tidak menjadi konsumsi utama masyarakat umum. Namun, definisi “mewah” bisa menjadi perdebatan. Jika definisi ini tidak akurat, kelas menengah bisa terkena dampaknya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi barang mewah menyumbang kurang dari 7% total belanja rumah tangga, artinya dampak langsung terhadap penerimaan negara mungkin terbatas.
Kebijakan ini juga berpotensi memengaruhi sektor seperti properti, otomotif, dan pariwisata premium, yang berkontribusi signifikan terhadap investasi nasional. Jika segmen ini tertekan, efek domino terhadap penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi bisa terjadi.
Pengendalian defisit adalah tujuan jangka panjang. Namun, menaikkan pajak sambil menjaga daya beli membutuhkan seni kebijakan tingkat tinggi. Pemerintah tampaknya mencoba menjembatani kebutuhan fiskal dan kepentingan rakyat; sebuah tugas yang tak mudah.
Politik di balik kebijakan
Di awal pemerintahan, Presiden Prabowo menghadapi ujian ekspektasi tinggi. Menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil adalah narasi penting, terutama saat kritik terhadap pemerintah mulai meningkat.
Dalam survei Desember 2024 oleh Indikator Politik Indonesia, 68% responden mengkhawatirkan kenaikan harga barang akibat PPN. Dengan membatasi kenaikan pajak pada barang mewah, pemerintah mengurangi potensi kritik tersebut.
Rekomendasi ICMI Orwil Jatim
Sebagai bagian dari masyarakat intelektual, ICMI Jawa Timur menyampaikan sikap kritis namun konstruktif. Kami mengapresiasi kebijakan ini sebagai langkah kompromi yang menunjukkan sensitivitas pemerintah. Namun, beberapa hal perlu diperhatikan:
Definisi barang mewah harus dibuat jelas dan transparan. Pemerintah harus memastikan regulasi yang tidak merugikan kelas menengah. Libatkan akademisi dan pakar dalam menetapkan kriteria barang dan jasa mewah.
Pengawasan pajak juga harus diperkuat. Teknologi dan sistem administrasi perpajakan perlu ditingkatkan untuk meminimalkan penghindaran pajak di segmen ini.
Sosialisasi kebijakan yang efektif sangat penting. Pemerintah perlu menjelaskan manfaat kebijakan ini dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat, membangun kepercayaan melalui komunikasi yang transparan.
Selain itu, eksplorasi inovasi untuk pendapatan negara menjadi penting. Jangan hanya mengandalkan kenaikan pajak. Pengelolaan aset negara dan efisiensi belanja publik harus dijadikan alternatif.
Evaluasi kebijakan secara berkala perlu dilakukan. Kebijakan ini harus dipantau dan diperbaiki sesuai dinamika ekonomi.
Awal yang layak diapresiasi?
Langkah pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% untuk barang dan jasa mewah adalah keputusan yang penuh pertimbangan. Apakah ini sempurna? Tentu tidak. Namun, dalam dunia kebijakan publik, terkadang langkah kecil yang bijak lebih baik daripada tindakan besar yang gegabah.
ICMI Orwil Jatim mengapresiasi pemerintah atas keberanian menghadapi tantangan fiskal, sambil tetap mencoba menjaga keseimbangan ekonomi. Dengan implementasi yang cermat, kebijakan ini bisa menjadi contoh keberpihakan kepada rakyat yang tidak sekadar retorika.
Selamat tahun baru, semoga kebijakan ini menjadi awal yang baik bagi Indonesia.
Surabaya, 01 Januari 2025
Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur