JAKARTA (Suaramuslim.net) – Ruas tol Sedyatmo, atau sering disebut sebagai tol bandara, sedianya akan dinaikkan tarifnya per 14 Februari 2019, sebesar Rp500. Namun hal tersebut dibatalkan, dan PT Jasa Marga selaku operator tol Sedyatmo, diminta oleh Kementerian PUPR dan BPJT, untuk mensosialisasikan terlebih dahulu sebelum kenaikan tarif dieksekusi. Yang jelas saat ini PT Jasa Marga telah mengantongi legalisasi kenaikan tarif tol Sedyatmo tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti keandalan jalan tol ruas Sedyatmo. Apakah layak dinaikkan tarifnya atau malah bentuk perampasan hak konsumen?
YLKI menyebut Jalan Tol Sedyatmo secara empirik tidak pantas lagi disebut sebagai tol bandara. Mengingat, trafik yang melintasi tol ini tidak semua menuju ke bandara, tetapi banyak yang ke luar bandara, seperti ke Cengkareng, Rawabokor, dan sekitarnya, bahkan ke Tangerang. Mix traffic inilah yang menyebabkan akses ke bandara sering terganggu, dan mengakibatkan kemacetan, karena terhambat exit tol di sekitar tol Sedyatmo.
“Keandalan Tol Sedyatmo akan makin menurun jika kapasitas penumpang Bandara semakin meningkat. Saat ini penumpang bandara Soetta mencapai 65 juta lebih. Ditargetkan akan mencapai 100 juta pada 2025. Hal ini seiring dengan pembangunan runway 3, dan bahkan terminal 4 bandara Soetta,” ungkap Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam rilis yang diterima redaksi Suaramuslim.net.
Jika jumlah penumpang 100 juta ini tercapai, kata Tulus, artinya trafik di tol Sedyatmo akan makin padat dan keandalannya makin menurun. PT Jasa Marga selaku operator tol, tidak akan mampu memenuhi berbagai indikator untuk meningkatkan pelayanan yang tercakup dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol. Kecuali jika pemerintah bisa memindahkan 30% pengguna tol Sedyatmo menjadi pengguna KA bandara, yang sampai sekarang masih kembang kempis, karena sepi penumpang.
“Bisa kita bayangkan jika 100 juta penumpang bandara Soetta semuanya menggerojog via jalan tol Sedyatmo, alamaaak, macam mana pula keandalan jalan tol Sedyatmo?” Ujar Tulus.
Mengacu pada kondisi empirik seperti itu, lanjut Tulus, maka tarif tol Sedyatmo tidak layak lagi untuk dinaikkan. Operator tol memang punya hak yang cukup kuat untuk menaikkan tarif tol per dua tahun. Namun, hal itu bisa dilakukan jika keandalan dan kemampuan jalan tol bisa dipenuhi, melalui standar pelayanan minimal sebagai pra syarat untuk kenaikan tarif tol.
“Tanpa adanya rekayasa lalu lintas yang mumpuni untuk mengembalikan keandalan jalan tol, maka kenaikan tarif tol Sedyatmo adalah bentuk perampasan hak konsumen sebagai pengguna jalan tol,” pungkas Tulus.
Sumber: Rilis YLKI
Editor: Muhammad Nashir