Penulis: Yusuf Maulana
Suaramuslim.net – Tatkala Baitul Maqdis tinggal menghitung hari untuk dikuasai pasukan Salib di bawah pimpinan Godfrey de Bouillon, dan pembantaian demi pembantaian Muslimin berlangsung di depan mata, apa yang bisa diperbuat Abu Sa’ad al-Harawi selain mengadu pada Khalifah di Baghdad? Rakyat Syam tak kuasa melawan sendiri tanpa didukung kekuatan kekhalifahan.
Abu Sa’ad sendiri seorang qadi di Syam. Ia tahu apa yang mesti dibawanya untuk meyakinkan Khalifah. Sebenarnya cukup kata-katanya karena ia tak mungkin berdusta. Maka, rambut dan tulang belulang Muslimin korban kebiadaban pasukan de Bouillon dihadapkan pada Khalifah. Semestinya, Khalifah langsung terenyuh. Bila perlu berlinangan air mata karena tidak mampu mencegah keburukan yang ditanggung Muslimin. Toh rakyat Syam, berikut Baitul Maqdis di dalamnya, adalah tanggungannya.
Saban mendapati Abu Sa’ad bercerita, orang-orang di Baghdad tak perlu waktu lama beruraian air mata. Mereka merasakan langsung bagaimana sakitnya ditindas setelah sekian tahun menguasai Kota Suci itu.
Mendapati aduan qadi dari Syam itu, Khalifah al-Mustazhhir menyimak. Tampaknya serius karena toh itu hajat orang-orang yang ditanggungkan padanya sebagai pemimpin. Tak heran, Khalifah menitahkan jajaran militer untuk segera menyongsong pasukan Salib. Sebegitu seriuskah Khalifah bertindak? Akankah ia mengulang pendahulunya yang begitu menjaga marwah umat, bahkan meski hanya seorang Muslimah yang dilecehkan warga bukan-Islam, lantas memerintahkan pasukan besar untuk menindak?
Tapi seberapa serius? Majid Irsan Kaylani dalam karyanya, Kebangkitan Generasi Shalahuddin dan Kembalinya al-Aqsa ke Pangkuan Islam, meneroka langkah Khalifah yang mudah menganga kesadaran kita.
Kala dihadapkan beberapa tengkorak, rambut Muslimah dan anak-anak, ke Khalifah al-Mustazhhir lekas berujar. Ujaran yang mencengangkan.
“Tinggalkan saya menguruskan sesuatu lebih penting dari ini!” titah Khalifah pada para menterinya.
Bayangkan bila isi kepala para bawahan Khalifah bertanya-tanya; apakah urusan yang lebih penting dari derita yang ditanggung Muslimin di Syam, dan terlebih lagi di kawasan sekitar Baitul Maqdis?
“Burung merpati saya yang berwarna belang-belang (hitam-putih) telah pergi tiga hari yang lalu dan sampai sekarang saya belum melihatnya,” ujar Khalifah. Tanpa rasa risih apalagi bersalah.
Memimpin itu menderita, artinya seorang pemegang kekuasaan mestilah berfokus pada masalah yang harus diatasi. Bukan melarikan ke soalan yang tak berkaitan, apalagi remeh-temeh. Amat sangat mencederai logika waras dan rasa kemanusiaan insan awam sekalipun. Tapi, begitulah kodrat dalam sejarah menyapa para penguasa lemah. Mereka tak siap dengan cobaan dan masalah yang melanda. Melarikan ke atraksi yang dianggap wah dan gagah. Agar rakyat terbuai dari lemahnya kekuatan sang penguasa tersebut.
Seperti Khalifah di ujung kejatuhan Baitul Maqdis, hari ini kita sedih melihat kegesitan penguasa negeri untuk bermain-main dengan penghiburan yang tidak relevan dengan nasib dan arah bangsa. Hanya mencari sensasi dan pemujaan tapi tak siap ketika masalah besar datang tak begitu lama. Perhelatan olahraga menuai puja-puja di mana-mana oleh pendukung fanatiknya, langsung nilai tukar mata uang membuka keterbatasannya untuk disebut penguasa negeri.
Prediksi, puji-puji dan janji kehebatan untuk menaklukkan kurs mata uang, hanya sebentuk cara menutupi kekurangan yang amat kasatmata. Sayang, semua menikmati genderang penghiburan penguasa dan pemoles citranya. Alih-alih fokus memikirkan jalan keluar dari dera demi dera lilitan masalah bangsa.
Bagi mereka yang setia memuja kuasa papa itu, kondisi parah pun tak jadi soal. Tak ada masalah baginya; semua baik-baik saja. Sama seperti rasa Khalifah al-Mustazhhir memandang tragedi di depan mata demi rasa hilang burung kesayangan. Bukankah di tengah kita banyak yang merasa tak ada masalah serupa walau di mana-mana kekusutan keadilan, keamanan, dan kesejahteraan tampil nyaris tanpa jeda?