Suaramuslim.net – Berbicara tentang pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia, tak lepas dari perjuangan seorang Bung Kecil yang bernama Sjahrir. Keberanian dan kecerdikan merupakan ciri dari pergerakannya memerdekakan bangsa ini. Partai Pendidikan Nasional Indonesia adalah salah satu alat pergerakannya kala itu. Pendirian partai yang kemudian disebut PNI Baru ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses yang cukup luar biasa.
Berawal dari tidak kondusifnya kondisi di Tanah Air seperti penangkapan Soekarno dan tokoh Partai Nasional Indonesia lainnya oleh pemerintah Belanda, maka Sjahrir memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Kepulangannya ke Indonesia pada November 1931 terbilang cukup berani karena saat itu kuliahnya di Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam belum selesai. Hatta pun menyusul beberapa bulan kemudian setelah menyelesaikan kuliah Ekonominya di Universiteit Rotterdam.
Perlu diketahui, perjuangan Sjahrir bukan hanya setelah mendirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Jauh sebelum itu, Sjahrir telah menuangkan segala pikiran dan tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. Semasa kuliah di Belanda, Sjahrir menghasilkan banyak tulisan yang sangat berpengaruh bagi kaum pergerakan di Indonesia. Berkat perhatiannya akan pentingnya pendidikan menuju kemerdekaan, Sjahrir begitu dikenal di kalangan nasionalis.
Sepulangnya dari Belanda, perjuangan Sjahrir berlanjut melalui Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Tentu, Sjahrir tidak sendirian dalam melakukan pergerakan di partai ini. Diawali terbentuknya Golongan Merdeka, sebuah kelompok studi oleh kalangan Mahasiswa dan Pemuda di Bandung dan Jakarta, kelompok ini kian besar setelah dimasuki oleh Abdoel Karim Pringgodigdo dan beberapa kawan Sjahrir di Bandung. Jurnal Daulat Rakyat adalah media perjuangan Golongan Merdeka untuk memerdekakan Indonesia. Mereka percaya dengan pendidikan rakyat, Indonesia akan semakin dekat meraih kemerdekaannya.
Perjuangan Golongan Merdeka berlanjut pada kongres bulan Februrari 1932 di Yogyakarta. Kongres ini menghasilkan pendirian Partai Pendidikan Nasional Indonesia yang menjadi babak baru perjuangan Golongan Merdeka. Sukemi terpilih menjadi Ketua Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Empat bulan kemudian, Sjahrir menggantikan posisi ketua dan Sukemi bergeser menjadi wakilnya. Posisi kepemimpinan berubah kembali setelah Hatta pulang ke Indonesia dan bergabung dengan PNI Baru. Mengisi posisi ketua, Hatta menggeser Sjahrir ke posisi wakil ketua. PNI Baru kemudian dipindahkan ke Jakarta oleh Hatta agar pergerakannya lebih efektif.
Perjuangan Sjahrir melalui PNI Baru juga memastikan bahwa pergerakan nasional tetap berlanjut meski tekanan dari pemerintah Belanda semakin besar. Dari pendidikan yang diberikan kepada kader-kader pergerakan menjadikan PNI Baru tak kalah militan dibanding Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sama seperti Hatta, Sjahrir adalah tokoh pergerakan yang tak lepas dari sorotan pemerintah kolonial Belanda yang kala itu menjajah Indonesia. Tak heran, disebabkan pergerakannya, Sjahrir, Hatta, dan beberapa pimpinan partai PNI Baru ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul, Papua oleh pemerintah kolonial Belanda pada Februari 1934. Dua tahun berselang, awal tahun 1936, mereka dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Bersyukur, tempat ini dirasa lebih baik dibandingkan Boven Digul. Di tempat ini pula, Sjahrir bertemu dengan Des Alwi, yang kemudian diangkat menjadi anak angkat oleh Bung Kecil.
Banda Neira memberikan kesan yang baik bagi Sjahrir. Di Banda, Sjahrir pernah tinggal di Kampung Nusantara di mana rumah-rumahnya memiliki arsitektur gaya Indis (kombinasi arsitektur kolonial dan tropis); jendela besar, tiang penyangga bulat dan langit-langit tinggi.
Semasa pengasingannya, Sjahrir dan Hatta menikmati bermain bersama anak-anak di Banda. Mereka berdua juga mengajarkan beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Prancis, Belanda kepada anak-anak tersebut.
Di Banda, Sjahrir dan Hatta juga bertemu dengan beberapa tokoh yang banyak mengisi hari-harinya selama pengasingan di antaranya, dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan Abdullah Bahalwan. Abdullah Bahalwan adalah tokoh masyarakat Banda peranakan Arab yang mengajari Iwa Kusumasumantri tafsir Al-Qur’an dan Bahasa Arab.
Selama enam tahun, Sjahrir diasingkan di Banda Neira. Meski demikian, Sjahrir dan tokoh pergerakan lainnya tak berhenti dalam melanjutkan perjuangan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sifat kecerdikan Sjahrir membuatnya mampu tetap bergerak meski dalam keadaan tertekan. Silaturrahim, belajar, dan berbagi ilmu tetap dilakukannya selama di Banda Neira.
Hingga akhirnya pada 31 Janurari 1942 pengasingan Sjahrir dan Hatta di Banda Neira berakhir. Bersamaan dengan penyerbuan tentara Jepang ke Ambon, mereka berdua dibawa oleh pesawat terbang milik Amerika Serikat menuju Surabaya. Tak lama, keesokan harinya Hatta dan Sjahrir diasingkan ke kompleks polisi di Sukabumi. Meski diasingkan di kompleks polisi di Sukabumi, Sjahrir tetap melanjutkan perjuangannya hingga Indonesia meraih kemerdekaannya.
Puncak perjuangan Sutan Sjahrir terbukti hingga Indonesia telah merdeka. Beliau sebagai orang yang jauh lebih muda diberi kesempatan oleh Haji Agus Salim untuk berpidato mewakili pemerintah Indonesia ke Dewan Keamanan PBB. Pidato Sjahrir di PBB membukakan mata dunia tentang kekejaman pemerintah kolonial Belanda terhadap Indonesia. Sjahrir mampu mematahkan pembelaan Eelco van Kleffens yang menjadi wakil Belanda di PBB.
Dari ulasan perjuangan Sjahrir dapat dipetik suatu pelajaran yang berharga bahwa di usianya yang masih muda, beliau memiliki jiwa yang berani dan cerdik dalam berjuang hingga mampu menghantarkan Indonesia pada kemerdekannya.
Perjuangan Sjahrir diharapkan dapat menginspirasi generasi muda saat ini agar memiliki tanggung jawab untuk selalu berjuang mempertahankan kedaulatan Indonesia. Selain itu, generasi muda perlu menghargai dan meneladani perjuangan pahlawan Indonesia seperti, Sutan Sjahrir, Hatta, Haji Agus Salim, AR Baswedan, dan tokoh lainnya.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima amal kebaikan para pahlawan Indonesia yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
Washil Bahalwan
Penulis adalah Pemerhati Sosial
Referensi:
Seri Buku Saku Tempo (2017). Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.