Suaramuslim.net – Kadang, hal paling berbahaya dalam kebijakan publik bukanlah niat buruk, melainkan logika yang keliru. Seperti ketika Ketua Komisi VIII DPR RI berkata dengan tenang di hadapan wartawan:
“Umrah mandiri sudah berjalan.”
“Belum diputuskan pun sudah berjalan.”
“Tidak lewat travel.”
Sekilas terdengar logis. Tapi di telinga akademisi kebijakan publik, itu terdengar seperti suara pagar hukum yang roboh, karena banyak orang sudah melompati pagar, lalu DPR memutuskan untuk sekalian melepasnya.
Itulah yang disebut logika de facto policy, menganggap sesuatu sah hanya karena sudah terjadi di lapangan. Padahal tugas negara bukan membenarkan apa yang sudah terjadi, melainkan memastikan apa yang terjadi itu benar dan tetap benar.
Bayangkan jika semua kebijakan dibuat dengan logika itu: perjudian daring dilegalkan karena “sudah banyak yang main”, parkir liar dibolehkan karena “sudah ramai”, atau korupsi dianggap lumrah karena “semua juga melakukannya.”
Sama seperti itu, melegalkan umrah mandiri hanya karena “sudah berjalan” adalah langkah politik yang lebih reaktif daripada reflektif. Sebuah legislasi yang diproses lebih cepat karena meniru, daripada berpikir.
Masalahnya, ibadah umrah bukan sekadar trip religi. Umrah adalah ritual suci lintas negara yang menyangkut keselamatan, pembimbingan, perlindungan hukum, hingga citra bangsa di hadapan dunia Islam.
Ketika negara berkata, “Silakan umrah mandiri, tidak lewat travel,” maka sebenarnya negara sedang berkata: “Silakan berangkat tanpa perlindungan kami, tanpa bimbingan manasik, tanpa jaminan keselamatan.” Itu bukan pembebasan. Itu pelepasan tanggung jawab.
Lebih parah lagi, pembenaran yang dipakai adalah “menyesuaikan kebijakan Arab Saudi dalam Saudi Vision 2030.” Pertanyaan sederhana: apakah konstitusi kita sekarang sudah berganti jadi Saudi Vision 2030? Apakah bangsa Indonesia tak lagi punya visi sendiri, “Indonesia Emas 2045”, yang menjunjung perlindungan warga negara dan kemandirian umat?
Adaptif itu baik. Tapi kalau adaptif artinya menyalin mentah-mentah kebijakan luar tanpa menimbang konteks sosial, nilai Pancasila, dan mandat konstitusi, maka itu bukan adaptif, itu namanya subordinatif.
Mari bicara terus terang: narasi “tidak lewat travel” seperti menghapus sejarah panjang profesionalisme PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah). Padahal, dari tangan PPIU-lah wajah tertib, ramah, dan terorganisir umat Islam Indonesia dikenang di Tanah Suci.
Selama puluhan tahun, PPIU beroperasi di bawah regulasi ketat: harus berbentuk badan hukum, membayar pajak, menyetor uang jaminan, menggaji pegawai sesuai UMR, menyediakan pembimbing, asuransi, hingga pelaporan jamaah secara daring.
Sementara umrah mandiri bebas dari semua itu. Lalu, adilkah jika dua entitas ini dibandingkan dengan kacamata harga semata?
Mereduksi ibadah semata algoritma
PPIU bukan sekadar pelaku bisnis. Mereka entitas peradaban yang menautkan niat spiritual dengan tata kelola profesional. Negara boleh bicara efisiensi digital, tapi jangan lupa: tidak semua yang efisien itu beradab.
Maka langkah Judicial Review (JR) yang kini sedang disiapkan oleh DPP AMPHURI bukanlah bentuk ketakutan industri terhadap perubahan. Kami tidak takut kehilangan jamaah, tidak takut bersaing, tidak takut ditinggalkan. Yang kami takutkan adalah negara yang kebablasan, melonggarkan aturan tanpa melindungi umat.
JR ini adalah jihad konstitusional: untuk memastikan regulasi ibadah tidak melenceng dari mandat UUD 1945, terutama Pasal 28D ayat (1) tentang kepastian hukum yang adil, dan Pasal 33 ayat (4) tentang keadilan ekonomi yang berlandaskan kebersamaan.
Sebab, ketika kebijakan disusun hanya karena “sudah berjalan di lapangan”, maka hukum berhenti menjadi panglima. Hukum berubah menjadi pengikut pasar.
Negara hukum yang sehat tidak ikut arus, tapi menuntun arus. Tugas DPR bukan menyalin kebijakan luar, tapi menegakkan nilai bangsa. Dan tugas kita semua, termasuk para penyelenggara umrah, adalah mengingatkan negara agar tidak lupa pada jati dirinya sendiri.
Karena di atas semua ini, yang kami perjuangkan bukan izin monopoli. Yang kami perjuangkan adalah izin akal sehat, agar ibadah tidak direduksi jadi algoritma, agar jamaah tidak diperlakukan seperti turis, dan agar negara tidak berubah menjadi sekadar operator tiket digital.
Sebab, ketika pagar hukum roboh, yang tersisa bukan kemerdekaan, tapi kekacauan. Dan kalau dibiarkan, ibadah pun akan kehilangan arah, bukan menuju Ka’bah, tapi menuju pasar.
“Negara yang besar bukan yang paling cepat menyesuaikan diri dengan dunia, tapi yang paling tahu bagaimana tetap menjadi dirinya sendiri di tengah perubahan dunia.”
Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI
Ketua ICMI Jawa Timur

