Suaramuslim.net – Kita hidup di zaman yang aneh. Semakin banyak orang merasa bebas; tapi sebenarnya semakin terikat. Terikat oleh layar, oleh sinyal, oleh algoritma yang tahu kapan kita tertawa, kapan kita rapuh, kapan kita siap digiring.
Setiap hari, kita membuka dunia digital seperti membuka jendela kebebasan. Tapi dari balik jendela itu, ada ribuan mata yang justru menatap balik, menghitung, mencatat, menilai. Kita pikir sedang menonton dunia, padahal kitalah tontonan itu.
Dulu, penjajahan datang lewat kapal dan senjata.
Sekarang, ia datang lewat aplikasi dan paket data.
Kalau dulu bangsa ditundukkan oleh opium, hari ini kita ditundukkan oleh dopamine; sensasi kecil yang membuat kita terus menatap layar, mencari kesenangan yang tak pernah penuh.
TikTok, Instagram, YouTube Short — semua berlomba memperebutkan waktu kita.
Mereka bukan sekadar hiburan, mereka adalah mesin yang lapar akan perhatian.
Setiap detik yang kita habiskan di dalamnya, menghasilkan data-data yang dijual, diperdagangkan, ditukar dengan kekuasaan dan uang. Inilah tambang emas baru abad ke-21: data dan kesadaran manusia.
Dan anehnya, kita menyerahkan semuanya dengan sukarela. Nama, lokasi, wajah, bahkan kebiasaan paling pribadi. Kita tukar semuanya dengan sedikit hiburan, sedikit validasi, sedikit rasa diterima.
Itulah bentuk kolonialisme paling halus dalam sejarah: ketika manusia menyerahkan dirinya sendiri, sambil tersenyum.
Tak ada darah, tak ada peluru. Tapi miliaran pikiran kini lumpuh; sibuk menatap, lupa berpikir.
Mungkin inilah yang dulu tak sempat dibayangkan oleh para pendiri bangsa ketika menulis Pasal 33 UUD 1945. Bahwa suatu hari nanti, yang dikuasai bukan lagi tambang di bawah tanah, tapi tambang di dalam kepala manusia.
Di tengah arus yang deras ini, kita perlu jeda.
Jeda untuk bertanya: siapa yang sebenarnya sedang mengendalikan kesadaran kita?
Apakah masih diri kita sendiri atau sistem yang diam-diam menulis ulang cara kita berpikir?
Teknologi seharusnya memerdekakan. Tapi tanpa kesadaran, ia bisa jadi alat penjajahan paling canggih yang pernah diciptakan manusia. Dan ironinya, penjajahan itu kini kita biayai sendiri, setiap kali membeli paket data.
Kadang, yang paling berbahaya bukanlah kehilangan kebebasan. Tapi ketika kita merasa bebas, padahal sedang diperintah oleh sesuatu yang tak kita lihat.
Catatan Agus M. Maksum

