Ketika Nuansa Islam Hilang dari Pancasila

Ketika Nuansa Islam Hilang dari Pancasila

Ilustrasi Garuda Pancasila dan Merah Putih.

Suaramuslim.net – Perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan kolonial telah diikrarkan dengan adanya naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Naskah itu kemudian dilanjutkan dengan adanya pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tegaklah bangsa Indonesia.

Nuansa Islam sangat kental dalam UUD 1945 itu. Namun ada pihak-pihak tertentu secara kasat mata dan sistematis ingin menghilangkan ruh Islam dalam naskah itu. Bahkan penafsiran terhadap Pancasila dan UUD 1945 itu justru mempertentangkan antara Islam dan negara.

Umat Islam seringkali dihadap-hadapkan (face to face) terhadap ideologi negara. Alih-alih dianggap berkontribusi pada negara, umat Islam dipandang sebagai ancaman bagi Pancasila.

Sementara secara historis, para ulama dan tokoh Islam justru menginspirasi dan berkontribusi dalam menyusun kalimat yang terdapat di dalamnya.

Nilai Islam dalam Pancasila

Islam benar-benar menjadi ruh dalam basis perjuangan dan perumusan ideologi negara. Perjuangan mengusir penjajah hingga terumuskannya Pancasila dan UUD 1945 tidak lepas dari peran ulama ketika menyusun naskahnya.

Dalam Pancasila sila pertama sangat jelas menyebut “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan hal ini menunjukkan adanya nilai tauhid. Nilai tauhid itu bukan hanya memberi ruh tetapi menjadi panduan atas sila-sila berikutnya.

Artinya, sila pertama (Ketuhanan) memberi panduan kepada sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, dan Keadilan Sosial. Empat sila itu tidak ada artinya bila tidak ada ruh atau spirit dari sila pertama.

Kalau merujuk pada teks yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 juga sangat jelas nilai Ketuhanannya. Kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” sangat gamblang adanya penyandaran yang kuat kepada kekuasaan Allah, sehingga Indonesia terbebas dari penjajahan. Bahkan di dalam UUD 1945 yang awal, yang dikenal dengan Piagam Jakarta, terdapat tujuh kata yang sangat jelas keterlibatan ulama dan tokoh Islam dalam merumuskannya.

Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya, merupakan tujuh kata yang hilang dari Pancasila. Hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta ini merupakan hasil kesepakatan BPUPKI. Hal ini karena adanya ancaman dari kelompok Kristen yang ingin keluar dari Indonesia bila tujuh kata itu tidak dihapus.

Kerelaan tokoh-tokoh Islam menghilangkan tujuh kata ini tidak lain karena untuk menyelamatkan Proklamasi Kemerdekaan dan keutuhan NKRI. Menurut Bung Hatta bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan atas tujuh kata itu.

Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh Islam yang paling tegas untuk memperjuangkan kata-kata itu. Para ulama pada saat itu berpandangan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan konsep tauhid. Konsep tauhid berpijak pada prinsip “Laa ilaha illallah” di mana Allah merupakan satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan ditaati.

Namun karena kebijaksanaan para ulama dan tokoh Islam itu, mereka mengakomodasi dengan menghapus tujuh kata itu. Pada Pancasila itu sangat jelas adanya worldview Islam. Dalam Pancasila itu, terdapat kata-kata kunci yang tidak ditemukan dalam tradisi manapun kecuali dalam Islam.

Kata kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat/Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; merupakan kata serapan dari khazanah Islam.

Ketika membincangkan tentang “kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan konsep yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Manusia yang beradab adalah insan yang bertauhid, berilmu, dan beramal. Tidak mungkin tercipta keadilan di suatu negara tanpa dipimpin oleh sosok yang bertauhid, berilmu, dan beramal.

Orang yang beradab adalah sosok manusia yang dekat dengan Allah, dan manusia yang demikian ini berpotensi besar untuk menciptakan keadilan di tengah masyarakat. Sebaliknya sosok pemimpin yang zalim dan berbuat curang tidak bisa diharapkan dalam menciptakan keadilan, kecuali hanya akan mendatangkan kerusakan dan kesengsaraan di tengah masyarakat.

Kentalnya nilai Islam ini tidak ditemukan dalam tradisi lain, khususnya dalam budaya yang bersumber dari tradisi Animisme dan Dinamisme. Karena dalam tradisi Animisme dan Dinamisme sangat jelas menolak adanya nilai-nilai tauhid yang kental dengan konsep pemurnian dalam keyakinan.

Adanya nuansa Islam juga bisa dilihat dari pandangan hidup para pendiri negeri ini. Negara ini dibangun atas dasar spirit agama, sehingga negeri ini hanya bisa dibangun di atas basis agama. Oleh karena ideologi kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan fasisme tidak akan bisa hidup berdampingan dengan ideologi yang berbasis pada agama.

Islam dan Spirit Perlawanan

Spirit Islam merupakan sumber tegaknya Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari adanya spirit perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dorongan perlawanan terhadap penjajah karena adanya ketidakadilan yang dilakukan secara kasat mata. Mereka menindas dan melakukan kezaliman tanpa memiliki belas kasihan.

Bangsa Nusantara ini tidak mungkin berani melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan, kecuali diinfiltrasi oleh spirit Islam.

Demikian pula motif dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda tidak mungkin terjadi kecuali adanya dorongan agama. Andaikata orientasi keuntungan duniawi yang ingin dicapai, maka merangkul penjajah merupakan cara yang tepat, karena akan memperoleh kenyamanan. Sementara melakukan perlawanan justru akan menguras darah dan nyawa.

Oleh karena itu, nasionalisme yang dibangun dengan menghilangkan spirit agama, hanya akan menghancurkan bangsa ini. Karena tegaknya bangsa ini, dengan melawan dan mengusir penjajah, justru didorong oleh spirit agama yang kuat.

Apa yang dilakukan oleh berbagai pihak dengan mempertentangkan Islam dan negara, merupakan upaya untuk merenggangkan umat Islam dengan ideologi Pancasila. Pola semacam ini bukan hanya akan memperlemah bangsa, tetapi justru akan menghancurkan negara.

Ketika membenturkan umat Islam dengan ideologi negara, dengan menuduh Islam sebagai ancaman, pada hakikatnya ingin membersihkan spirit agama dalam tubuh dasar negara ini.

Surabaya, 19 Agustus 2021
Dr. Slamet Muliono R.
Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya (2018-2022)
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment