Suaramuslim.net – Jawa Timur menjadi episentrum baru penyebaran Covid 19. Jatim menjadi runner up nasional di bawah DKI. Banyak klaster baru yang ditemukan di Jatim. Surabaya sebagai kota terbesar menjadi sarang paling besar.
Dua emak, Gubernur Khofifah dan Wali Kota Risma, mestinya rukun menuntaskan pagebluk ini, tapi kelihatannya susah untuk mengajak mereka akur.
Persaingan politik membuat emak-emak itu sulit dipertemukan. Pilwali Surabaya, yang seyogyanya digelar September, diundur sampai Desember. Tapi aromanya sudah terasa menyengat sekarang.
Risma bakal mempertaruhkan reputasinya untuk memenangkan sang protege, putra mahkota, Eri Cahyadi. Sementara Khofifah tidak tinggal diam, ia menyiapkan jago untuk merebut Surabaya yang sangat strategis ini. Khofifah bakal mendorong Machfud Arifin untuk menantang Eri.
Atas jaminan Risma, Eri mungkin bakal dapat rekom PDIP. Melihat kedekatan Risma dengan Megawati, kelihatannya Risma bakal dapat cek kosong yang bisa diisi nama siapa saja. Sejauh ini hanya nama Eri di kantong Risma.
Khofifah terlalu cerdas untuk membiarkan Risma bermanuver sendirian. Selama ini Surabaya menjadi kerikil dalam sepatu Khofifah. Machfud Arifin menjadi pipihan yang cukup lumayan untuk menantang jago Risma.
Machfud, seolah tinggal menagih dividen dari hasil kerjanya memenangkan Jokowi di Jatim dalam pilpres 2019. Sekarang Machfud seperti sudah aman memegang rekom dari partai-partai non-PDIP. Ia tinggal menunggu siapa yang menjadi pendampingnya.
Khofifah-lah yang punya privilege untuk menyodorkan nama pendamping Machfud. Bisa jadi Gus Hans, orang dekat Khofifah, atau Lia Istifhama, salah satu kerabat Khofifah.
Pertempuran memperebutkan teritori Surabaya bakal seru dan sulit ditebak hasilnya. PDIP sudah menguasai Surabaya 20 tahun, dan selama 10 tahun terakhir Risma sudah menjadi legenda di Surabaya. Dukungannya terhadap Eri akan seperti “idu geni”, ludah api nan sakti yang bisa memengaruhi pilihan warga Surabaya.
Eri relatif tidak dikenal, meskipun gambarnya sekarang banyak nempel di kantong beras bansos dan kiprah birokrasinya tidak ada yang menonjol. Tapi, ia akan menjadi kuat dengan back-up dari Risma. Andai tidak terbentur aturan, sangat mungkin Risma akan turun ranjang menjadi wakil Eri.
Skenario itu dipakai PDIP pada pilwali 2005 ketika Bambang DH, petahana wali kota saat itu, turun kelas menjadi wakil Risma. Kartu lawas itu tidak bisa dimainkan lagi karena Risma terbentur aturan. Risma agak puyeng mencari wakil yang pas untuk Eri.
Machfud akan jadi lawan yang tangguh, karena amunisi dan logistik yang kabarnya, melimpah dari banyak sponsor. Apalagi kalau Khofifah all out mendukung, bakal makin seru.
Ini bukan pertempuran lokal. Ini pertempuran nasional dengan pemain lokal. Ini adalah partai balas dendam, pertempuran lanjutan dari pilgub 2018 antara PDIP yang menjagokan Gus Ipul-Puti Guntur melawan koalisi Jokowi yang menjagokan Khofifah-Emil Dardak.
Khofifah menang meyakinkan. Surabaya, yang diklaim sebagai daerah merah pun oleh Khofifah berhasil ditundukkan. Inilah yang menumbuhkan optimisme kubu Khofifah bahwa Surabaya bakal bisa ditundukkan, meskipun harus kerja keras.
Pagebluk Covid 19 membuat skenario berubah dan perimbangan kekuatan bergeser. Pengunduran waktu tiga bulan ini menguntungkan Khofifah. Penanganan kasus Covid 19 ini membuat Khofifah bisa mengambil kendali dan memamerkan otoritasnya sembari menjawab pertanyaan yang selama ini muncul, “Who is the Boss.”
Kali ini Khofifah boleh dengan lantang menjawab, “I’m the Boss.” Tentu Risma tak nyaman dengan perkembangan ini. Selama ini komunikasi antar dua Srikandi itu “lukewarm”, hangat-hangat kuku, dan adem-panas.
Saat dipanggil ke Grahadi untuk diberi tahu bahwa PSBB akan diberlakukan di Surabaya Raya, Risma terlihat jengah dan enggan menjawab wartawan.
Ia sudah mengambil inisiatif menutup titik-titik masuk ke Surabaya untuk mencegah penyebaran wabah, tapi dimentahkan oleh Khofifah yang merasa dilangkahi.
Begitu PSBB disetujui pusat, Khofifah unjuk gigi dan langsung gas poll. Pikirnya, kapan lagi bisa ngerjain Risma. Selama ini ia sudah berkali-kali dikerjain Risma, bahkan baliho atau billboard gambar Khofifah pun dicekal di Surabaya.
Munculnya klaster baru di pabrik rokok Sampoerna membuat Risma makin terpojok, apalagi ketika Khofifah menganggapnya lelet dalam merespons kasus ini.
Yang teranyar, Risma merajuk karena rumah sakit di Surabaya lebih banyak dipenuhi pasien dari luar Surabaya. Pernyataan itu dibantah dan dimentahkan oleh banyak pihak.
Kalau toh faktanya benar, pernyataan Risma itu dianggap diskriminatif. Mungkin Risma berpikir mau menerapkan model zonasi seperti dalam penerimaan murid sekolah.
Bukan cuma komunikasi vertikal yang bermasalah. Komunikasi horizontal Risma dengan DPRD Surabaya juga memanas. Fraksi-fraksi non-PDIP mendesak pembentukan panitia khusus karena tidak puas atas kinerja Risma. Desakan ini ditolak PDIP, tapi hubungan Risma dengan Dewan telanjur hambar.
Gaya kepemimpinan Risma yang “one woman show” tidak cocok diterapkan untuk mengatasi musibah wabah ini. Reputasinya bisa tercoreng karena kebijakannya yang inaktif. Sebaliknya, Khofifah terus menunjukkan strong leadership dengan memperpanjang PSBB di Surabaya Raya dan memperluasnya di Malang Raya.
Emak-emak ini akan terus bersaing sampai pada puncaknya di pilwali Surabaya, Desember nanti. Untuk sementara ini Khofifah masih memimpin di depan. Kalau Risma tidak bisa menyalip di tikungan, ia akan kehilangan Surabaya, dan reputasi politiknya akan tercoreng.