Suaramuslim.net – Kenalkan aku pria kelahiran Sumenep tepat 23 tahun yang lalu dan tak terasa sampai sekarang sudah 6 tahun lamanya aku tinggal dan berada di kota yang terkenal dengan julukan kota pahlawan ini, bermula sejak bangku perkuliahan sampai saat ini sudah bekerja di salah satu perusahaan.
Cerita hijrahku bermula ketika ajang kelulusan SMA yang menentukan akan ke arah mana melanjutkan studi selanjutnya. Orang tuaku menyarankan agar aku melanjutkan kuliah di salah satu pondok pesantren di Situbondo saja, karena terbukti banyaknya lulusan dari sana yang bisa menjadi ustaz/ustazah, dai, guru dan paling tidak jadi salah satu orang yang dihormati di kalangan masyarakat.
Namun entah kenapa aku merasa tidak siap ditempatkan di Ponpes tersebut dengan alasan tidak bisa betah ataupun kerasan selama tinggal di sana. Sehingga pada akhirnya aku pun memilih melanjutkan studi di Surabaya, karena selain kuliah aku juga bisa melakukan kerja sampingan untuk membantu meringankan biaya perkuliahanku selama di Surabaya.
Akan tetapi alasanku tersebut tidak cukup meyakinkan orang tuaku yang tetap bersikukuh dan tidak mengijinkan aku kuliah selain di ponpes tersebut dan mengatakan juga kalau kuliah di Surabaya itu sangat membahayakan bagi diriku sendiri.
Bagi orang tuaku Surabaya dikenal salah satu kota yang gaya hidup glamour dan dunia malamnya begitu tinggi, hal ini terbukti dari saking banyaknya mahasiswa yang ketika kuliah di kota ini menghabiskan dana terlampaui tinggi namun tidak pernah mampu menyelesaikan kuliahnya di sana.
Ini bukan lagi menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat tempat daerahku tinggal, jadi tak heran juga kalau orang tuaku bahkan masyarakat sekitar pada umumnya trauma dan enggan melanjutkan studi kuliah anaknya di kota ini. Alih-alih mereka bisa bekerja, lulus kuliah pun tidak.
Singkat cerita, meskipun orang tuaku terutama ayahku tidak mengijinkan untuk meneruskan kuliah di Surabaya namun ibuku cenderung melunak dan mampu meyakinkan ayahku agar aku tetep bisa melanjutkan kuliah di kota metropolitan ini.
Dan tak terasa sekarang sudah genap enam tahun lamanya aku berada di kota ini, dengan melewati berbagai perjalanan, rintangan dan tantangan serta terpaan masalah yang begitu kompleks tetapi aku masih mampu untuk tetap bertahan di sini.
Namun sumber masalahnya bukanlah itu, dari enam tahun yang aku lalui, empat tahun di antaranya berasa hidup dalam kesia-siaan, terabaikan dan hidup dalam kelalaian. Layaknya buih di lautan yang terlihat putih namun tidak menyucikan, terlihat teguh di jalan yang benar namun terombang ambing entah ke mana. Kurang lebih seperti itulah cerminan kehidupanku selama empat tahun berada di kota ini.
Salah satu yang orang tuaku khawatirkan dengan mengatakan pendidikan secara formal mungkin bisa didapat namun tidak dengan sisi spiritualitasnya. Dan perkataan itu benar sekali terjadi, kadang salat terabaikan karena hal kerjaan, terabaikan karena terjebak dalam euphoria permainan, terabaikan karena kesibukan-kesibukan yang entah tidak ada manfaatnya sama sekali.
Terjebak Kemaksiatan
Puncak dari melemahnya sisi spiritualitas dan keimananku semua terjadi karena aku semakin sering terjebak dalam kemaksiatan. Biasanya hal seperti itu terjadi ketika pikiran sudah terasa berat, beban kerjaan semakin tinggi dan rutinitas hidup yang tidak teratur membuatku selalu saja kehilangan kendali.
Entah berapa kali bertaubat akan tetapi tetap saja melakukannya lagi dan lagi. Berbagai terobosan selalu aku lakukan untuk menebus kesalahan dan agar hal semacam itu tidak terjadi lagi, mulai dari mengatur jadwal rutinitas harian dengan membuat manajemen waktu, mulai dari jam sekian sampai sekian ngapain saja, ke mana saja, apa saja yang dilakukan.
Bahkan aku pun membuat target bulanan sendiri agar waktu yang dihabiskan selalu bisa positif dan tidak ada celah lagi untuk melakukan kemaksiatan, namun lagi-lagi tetep saja terpengaruh, tetep saja terbuai dan pada akhirnya selalu menyesal.
Aku pun mulai rutin setiap kali habis salat malam berdoa agar ditunjukkan jalan yang lurus, dilindungi dari berbagai kemaksiatan dan diberikan nur (hidayah) yang terang, karena aku yakin bahwa Allah dengan sifat Al-Ghaffar dan Ar-Rahman-Nya (Maha Pengampun dan Maha Penyayang) akan selalu memberikan pertolongan bagi siapa saja hamba-Nya yang mau bertaubat dan memberikan ampunan akan semua dosa-dosanya yang telah lalu.
Satu yang pasti bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang bertaubat untuk terus menerus berada dalam jalan kesesatan.
Karena sekelas Nabi Adam pun pernah merintih dan berdoa pada Allah agar mengampuni semua dosa-dosa yang pernah dilakukannya apalagi kita yang statusnya sudah jelas bukan Nabi namun hanyalah manusia biasa, apakah tidak mau juga berdoa.
Selain memanjatkan doa, salah satu kunci yang bisa dibilang membuat hijrahku sedikit menemui titik terang karena meskipun aku sering kali bermaksiat, aku juga selalu menuntut diri untuk selalu “melakukan kebaikan baru” ketika hal itu terjadi.
Seperti halnya ketika aku melakukan maksiat pertama setelah itu aku langsung membuat target untuk salat taubat dan tahajjud setiap malam, melakukan lagi maksiat yang kedua dan langsung juga menargetkan setiap kali mau tidur untuk selalu berwudhu dan melakukan salat witir. Melakukan maksiat ketiga, lalu menerapkan salat dhuha tiap waktu, bersedekah tiap bulan, mengaji tiap habis magrib dan subuh, hafalan surah-surah pendek, datang ke kajian, mencari temen-temen yang baik.
Kemudian maksiat keempat lalu sering mendengarkan murrotal, kajian-kajian di media, membatasi media sosial dan sumber-sumber kenapa aku melakukan maksiat tersebut dan begitulah seterusnya.
Memulai Hijrah
Alhamdulillah saat ini aku masih diberikan kenikmatan untuk tetap berada dalam jalan hijrah ini, yang pada awalnya aku hanya mengerti bahwa hijrah itu hanyalah sebuah perkataan yang biasa saja sampai aku mengerti bahwa makna hijrah itu sendiri begitu kompleks.
Maknanya yang dalam bahasa sederhananya bisa diartikan perbuatan yang dilakukan dalam rangka meninggalkan kemaksiatan, meninggalkan keburukan-keburukan dan sejenisnya menuju jalan kebaikan yang positif dan bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain dalam koridor ataupun aturan agama yang sudah ditetapkan dan diridai oleh Allah.
Hijrah itu sendiri tidaklah semudah yang kita bayangkan dan tidak semudah yang kita ucapkan karena hijrah yang sesungguhnya adalah hijrah yang terus menerus harus menekan hawa nafsu dan keinginan dalam diri kita sendiri. Hanya orang yang sudah berhijrah yang mengerti betapa beratnya jalan perjuangan ini.
Bahkan seorang alim ulama yang tingkat pemahaman agamanya begitu baik seperti seorang Imam Al Ghazali mengatakan:
“Belum pernah saya berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwa saya sendiri, yang kadang-kadang membantu saya dan kadang-kadang menentang saya.”
Singkat cerita setelah dua tahun lamanya aku mulai menempuh jalan hijrah ini. Aku baru bisa mengerti dan memahami perkataan dari salah seorang guru kita yakni Buya Hamka yang mengatakan:
“Kita hanya akan dipertemukan dengan apa yang kita cari.”
Artinya kemana pun kita pergi tak peduli seberapa buruk tempat itu dan seberapa jelek lingkungan tersebut jika yang kita niatkan untuk kebaikan akan selalu menemukan jalan kebenaran, jalan hidayah dan jalan penolong untuk kita.
Sebaliknya jika yang kita niatkan tidak untuk kebaikan maka seberapa suci tempat dan lingkungan tersebut tetap juga akan membuat kita terjerumus ke dalam lubang keburukan.
Akhirnya saat ini aku sudah punya cukup alasan untuk membantah dan mengatakan pada masyarakat tempatku tinggal bahwa Surabaya bukanlah kota glamour ataupun gaya hidup mewah dan dunia malem yang dikatakan banyak orang.
Akan tetapi Surabaya adalah kota hijrah, kota yang bisa menempa sisi spiritualitas dalam diri, kota yang pemudanya selalu aktif dalam berbagai kajian, kota yang tingkat kepedulian pemudanya terhadap agama sangat tinggi.
Salah satu bukti nyata yang bisa kita lihat adalah dengan banyaknya komunitas pemburu kajian, ikatan-ikatan remaja masjid, ikatan-ikatan pemuda hijrah seperti KAHF, Go-Hijrah, Serambi Hijrah, Punk Muslim, Odoj, Risma, Main ke Masjid, Komunitas Muslim Pakuwon City, Better Youth Project dan masih banyak lagi yang lainnya.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir