Suaramuslim.net – Alkisah ada seorang ayah, seorang pengangguran korban PHK yang malang dan melarat, yang -karena mendengar tangis anak bayinya semalam suntu – tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak pergi keluar dengan niat untuk mencuri roti. Anak bayi itu sungguh lapar karena air susu ibunya sudah tidak bisa keluar lagi. Betapa tidak? Si Ibu sendiri sudah tiga hari ini tidak makan. Tidak ada sesuatu pun, roti pun tidak -bahkan remah-remahnya saja juga tidak- yang tersisa di rumah.
Ayah yang nekat itu menuju ke sebuah toko roti di pojok jalan. Terlihat beberapa bongkah roti teronggok di belakang kaca etalase. Dipecahnya kaca itu, dan diambil sebongkah roti, dan segera saja ia larikan pulang. Untuk isteri! Ya, demi anak!.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bunyi kaca etalase yang pecah mengundang dengan segera datang seorang polisi ke tempat kejadian. Segera saja polisi itu mengejar si ayah yang tengah melarikan roti itu. Roti memang sempat diterima si ibu, akan tetapi belum sempat si ibu memasukkan roti ke mulutnya yang telah terlanjur menganga, keburu datanglah polisi itu. Polisi merenggut dan merebut roti itu dari tangan si ibu.
Sekalipun si ibu dan si ayah itu mengiba-iba, dan jerit tangis dengan tegar “mengamankan” roti itu sebagai barang bukti telah terjadinya pencurian, dengan si ayah itu sebagai tersangka/terdakwanya. Bukankah hukum itu harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh? Lagi pula, bukankah ada perintah Allah SWT: “Janganlah kamu mencuri” ? .
Arkian, polisi meneruskan tugas kewajibannya untuk memproses perkara pencurian itu, dan menyeret sang ayah ke meja hijau. Hakim pun secara konsekuen menjatuhkan pidana sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Pidana yang berlaku, yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang milik orang lain, akan dipidana penjara dengan kerja paksa karena suatu perbuatan pencurian, setinggi – tingginya enam tahun. Apabila barang yang diambil itu merupakan barang produksi atau barang dagangan, maka pidana penjara itu akan diperberat dengan tambahan sepertiganya”. Maka si ayah pun terpisah dengan paksa dari anak-istrinya, karena harus menjalani hukum selama 8 (delapan) tahun lamanya.
Dari Kutipan kisah dalam Novel “Les Miserables” yang ditulis oleh Victor Hugo dan disadur ulang oleh almarhum Prof Soetandyo Wignyosubroto dalam bukunya “ Sosiologi Hukum”, diketahui bahwa bekerjanya hukum dalam praktik, tidak jarang seperti mesin, sehingga dioperasikan sangat teknis. Hukum sebatas sebagai alat bagi aparatur penegak hukum. Atas nama/demi Undang-Undang (UU), martabat kemanusiaan diabaikan. Hukum bukan untuk memanusiakan manusia, tetapi manusia untuk mengabdi kepada kepentingan hukum.
Para penegak hukum bekerja mengeja pasal demi pasal dari suatu UU untuk tujuan kepastian hukum, tetapi mengabaikan aspek kemanusiaan yang adil dan beradab seperti yang diamanatkan Sila Kedua Pancasila. Kisah di atas, ternyata bukan hanya terjadi di negeri antah berantah, tetapi secara de facto juga terjadi di negeri ini, misal nenek Minah pencuri buah kakao di Banyumas, nenek Asiani pencuri kayu di Situbondo, dan si anak dengan inisial “AAL” pencuri sandal jepit di Palu, Sulawesi.
Dalam kasus di atas, hukum tampak tegas dan memberikan kepastian hukum buat si pelaku yang kebetulan posisinya kurang beruntung (the have not), tetapi dalam kasus yang lain, hukum tampak tidak berdaya menghadapi para mastermind mega korupsi E-KTP.
Hal itu menunjukkan, bahkan mengukuhkan kebenaran atas sebuah pameo yang menyatakan: “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Bahkan prinsip setiap orang sama di hadapan hukum (equality before the law) hanya benar di atas kertas, tetapi dalam praktik di lapangan, setiap orang tidak sama di hadapan aparatur penegak hukum.
Oleh karena itu menurut hemat saya, kita perlu menengok kembali cara berhukum kita. Cara menegakkan hukum yang benar. “Membaca UUD (termasuk UU) jangan hanya sebatas bunyi teks, tetapi juga harus menyelidiki suasana kebatinan (gesstelik achtergrond) dari suatu UUD (UU) saat dibuat”, demikian pesan Founding Fathers kita.
Dalam konteks yang lain, Founding Fathers berpesan bahwa sangat penting dalam pemerintahan dan bernegara adalah semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun sudah disusun UUD yang bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara dan para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, UUD tidak ada artinya dalam praktik. Sebaliknya meskipun UUD itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, UUD itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi semangat adalah yang paling penting. Itu harus kita peringati (sadari) juga.
Prof.Taverne, ahli hukum kenamaan dari Belanda, juga menyatakan bahwa: “Bukan rumusan undang-undangnya yang menjamin kebaikan pelaksanaan hukum acara pidana, tetapi hukum acara pidana yang jelek sekalipun dapat menjadi baik jika pelaksanaannya ditangani oleh aparat penegak hukum yang baik” (Geef me goede rechter, goede Rechter Commissarissen, goede officieren van justitie en goede Politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken).
Di tangan aparatur penegak hukum (polisi, jaksa, KPK, hakim) yang memiliki moral reading yang baik, ketidaksempurnaan bunyi UU, dapat dilengkapi dengan semangat moral yang baik. Sehingga praktik hukum tetap menjadi baik. Sebaliknya, di tangan aparatur penegak hukum yang “cerdas tapi culas”, maka ketidaksempurnaan UU dapat dijadikan pintu untuk memuluskan preferensi-preferensi subyektif para aparatur penegak hukum dan memenuhi pesanan-pesanan politik tertentu.
Hal ini mengingatkan kita pada adagium bahasa latin berbunyi : quid lege sine moribus, “apa yang artinya hukum kalau tidak disertai moralitas aparat penegak hukum”? Praktik hukum belakangan terkesan carut marut, bukan terletak pada banyaknya hukum yang jelek, tetapi lebih banyak karena aspek penerapan atau penegakan hukum yang tidak disertai moralitas penegak hukum yang baik. Hari ini yang diperlukan bukan hanya aparatur penegak hukum yang kompeten secara kognitif, tetapi lebih diperlukan adanya penegak hukum yang jujur, tanggungjawab, adil dan beradab, memiliki integritas yang tinggi dan berdedikasi untuk bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya.
Sebagai penutup dikutipkan pidato terakhir Rasulullah SAW di padang Arafah pada saat haji wada’ yang merupakan bukti nyata kecintaan Nabi Muhammad terhadap keadilan :
“Wahai manusia ! Perhatikan kata-kata ini, barangkali aku tidak akan bersamamu lagi setelah tahun ini dengan kalian, di tempat ini. Berlakulah adil dan manusiawi di antara kalian. Harta dan jiwa kalian masing-masing adalah suci tidak dapat diganggu oleh orang lain. Beriman merupakan kewajiban setiap orang dan kalian pasti akan menghadap Tuhan, pada waktu itu kalian diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu. Kalian harus membimbing mereka dengan penuh kepercayaan. Wahai manusia! Dengarlah kata-kataku dan ingatlah. Telah kuberikan segalanya. Aku telah tinggalkan hukum yang harus kalian pertahankan dan jalankan dengan sebaik-baiknya, Al Quran dan hadits“.