Konsistensi pesantren dan santri menjaga cahaya ilmu di tengah badai narasi negatif

Menyaksikan Serunya Debat Cawapres

Suaramuslim.net – Hari ini, 22 Oktober 2025 adalah Hari Santri. Peringatannya pun kembali menggema di seluruh penjuru negeri. Tentu saja, peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum kesadaran kolektif bangsa ini terhadap jejak panjang para kiai dan santri dalam menjaga nadi ke-Indonesia-an.

Namun, di tengah hiruk-pikuk pemberitaan media (sosial), narasi tentang pesantren mengalami dilemma. Di satu sisi dipuji sebagai benteng moral bangsa, namun di sisi lain disorot karena ulah segelintir oknum yang menyimpang dari nilai-nilai luhur kepesantrenan.

Sebagian media (sosial) bahkan tergoda menggiring opini publik dengan judul sensasional yang menempatkan “pesantren” dalam posisi tertuduh kolektif. Padahal, sebagaimana halnya lembaga pendidikan lain, pesantren juga rentan terhadap dinamika sosial, kultural, dan manusiawi.

Apa yang dilakukan oleh satu individu tidak dapat mewakili ratusan ribu lembaga pesantren yang tersebar dari Sumatera hingga Papua, dengan sekitar 42.000 lebih pesantren dan hampir 1,5 juta santri menurut data Kementerian Agama per 4 Oktober 2025.

Epistemologi pesantren

Dalam konteks filsafat ilmu, pesantren sesungguhnya memiliki epistemologi khas dan tentunya berbeda dengan paradigma modern Barat. Jika filsafat modern sering menempatkan ilmu sebagai instrumen dominasi manusia atas alam dan masyarakat, maka pesantren menempatkan ilmu sebagai nuratau cahaya untuk mendekatkan diri kepada kebenaran dan Tuhan.

Bagi pesantren, pengetahuan bukan sekadar hasil rasionalitas, melainkan buah dari tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa. Sosok kiai menjadi figur epistemik, yang bukan hanya guru ilmu tapi sekaligus penjaga moralitas ilmu.

Dalam logika inilah, lahir ribuan ulama dan pejuang yang menggabungkan akal, amal, dan akhlak dalam satu tarikan napas perjuangan.

Sejarah mencatat, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari bukan hanya fatwa keagamaan, tetapi manifestasi epistemologi pesantren bahwa ilmu harus berbuah tindakan untuk menegakkan keadilan dan menjaga kemanusiaan. Termasuk munculnya Laskar Jihad dan Barisan Sabilillah yang terjun ke lapangan berjuang mempertahankan Indonesia.

Santri dan kiai turun ke medan juang dengan kesadaran spiritual bahwa mempertahankan tanah air adalah bagian dari iman, hubbul wathan minal iman. Mereka tidak sekadar melawan penjajah, tetapi melawan ketidakadilan epistemik yaitu dominasi pengetahuan kolonial yang merendahkan martabat bangsa.

Pasca kemerdekaan, kontribusi pesantren tak berhenti. K.H. Wahid Hasyim, K.H. Saifuddin Zuhri, dan K.H. Idham Chalid berperan penting dalam membangun sistem pendidikan dan moral kenegaraan.

Lahirnya Departemen Agama pada tahun 1946 dan Undang-Undang Pesantren pada 2019 merupakan bukti pengakuan negara terhadap peran kultural dan epistemologis pesantren dalam pembangunan nasional.

Namun, perjalanan panjang itu tidak tanpa kritik. Di era digital, beberapa kasus kekerasan atau penyimpangan moral di sebagian kecil pesantren; seperti di Malang dan Lombok Barat, mendapat perhatian luas di media.

Kritik terhadap perilaku oknum tentu sah dan perlu sebagai bagian dari kontrol sosial. Akan tetapi, ketika kritik berubah menjadi generalisasi dan gebyah uyah, di mana satu kesalahan diproyeksikan seolah mewakili semua pesantren, maka di sanalah keadilan epistemik kembali terguncang.

Kita lupa bahwa pesantren juga tengah melakukan proses transformasi internal. Banyak pesantren kini membuka diri terhadap sains modern, teknologi digital, bahkan kewirausahaan berbasis nilai.

Pesantren Tebuireng, Sidogiri, Gontor, dan Nurul Jadid misalnya, mengintegrasikan pendidikan formal dengan pendidikan karakter hingga menghasilkan lulusan santri yang mendunia seperti Salahudin Kafrawi yang mengajar filsafat di Amerika Serikat atau Muhammad Azis yang menjadi profesor Energy and Process Integration Engineering di Jepang.

Data Kemenag menunjukkan lebih dari 60% pesantren kini mengelola madrasah atau sekolah formal di bawah kurikulumnya sendiri. Dengan kata lain, pesantren tidak anti modernitas. Tidak anti pembangunan modern. Mereka sedang menegosiasikan tradisi dan perubahan agar tetap relevan tanpa kehilangan jati dirinya.

Secara ontologis, pesantren memandang manusia sebagai makhluk yang utuh meliputi jasmani dan ruhani, akal dan rasa. Pendidikan tidak hanya mengisi otak, tapi menata hati. Maka, ketika santri dilatih bangun sebelum subuh, membersihkan kamar, membaca kitab kuning, dan mengaji, itu bukan sekadar rutinitas, melainkan pembentukan diri yang holistik.

Ilmu sebagai jalan peradaban

Sementara secara aksiologis, pesantren mengajarkan bahwa ilmu harus membawa maslahat. Santri belajar bukan untuk mengejar karier, tapi untuk ngabdi yakni melayani umat, melayani masyarakat, dan tentunya melayani bangsa dan negara. Dari sinilah muncul figur-figur seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, hingga K.H. Maimoen Zubair dan Gus Dur hingga Gus Baha, yang menjadikan ilmu sebagai jalan peradaban, bukan sekadar kompetisi.

Di era algoritma media sosial, tantangan pesantren bukan lagi kolonialisme fisik, melainkan kolonialisme narasi. Sekali satu berita negatif muncul, ratusan ribu tautan serupa segera menyebar, menciptakan bias kognitif massal. Maka, Hari Santri 2025 mestinya bukan hanya momen nostalgia, tapi juga momen berbenah epistemik.

Pesantren harus belajar berkomunikasi dengan publik modern mulai dari menulis, berbicara data, dan berjejaring dengan media. Para santri digital yakni mereka yang paham agama dan teknologi, kini menjadi ujung tombak untuk menyeimbangkan wacana. Salah satunya Pesantren Digipreneur Al-Yasmin di Surabaya.

Betul memang bahwa pesantren bukan lembaga tanpa cela, tapi juga bukan ruang gelap seperti yang kadang digambarkan sebagian media. Pesantren adalah laboratorium kemanusiaan tempat nilai-nilai Islam, nasionalisme, dan kebudayaan Indonesia dirajut menjadi satu kesatuan yang utuh.

Dalam kerangka filsafat ilmu, pesantren adalah peradaban yang menjaga tiga hal sekaligus mulai dari aspek epistemologi yang menekankan bagaimana cara berpikir berlandaskan iman dan akal, lalu ontologi yang menekankan pada pandangan tentang manusia yang utuh, dan tentunya aspek aksiologi yang menekankan pada nilai-nilai amal dan maslahat. Sehingga, ketika sebagian orang sibuk mencari kesalahan pesantren, mungkin perlu sejenak kita menengok kembali terkait siapa yang lebih dulu mengajarkan cinta tanah air, toleransi, kerja keras, dan kesederhanaan jika bukan (salah satunya) adalah pesantren.

Karena itulah, Hari Santri bukan hanya tentang masa lalu. Hari Santri adalah cermin bagi bangsa ini untuk melihat bahwa di balik segala badai narasi negatif, pesantren dan santri tetap menyalakan cahaya ilmu dengan penuh ketenangan, dalam diam dan sunyi, dan setia menjaga cahaya peradaban Indonesia.

BUSTOMI
Mahasiswa Program Doktoral FISIP UNAIR dan Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PWNU Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.