KPK akan terbang ke Arab Saudi untuk membongkar dugaan korupsi kuota haji

KPK Tolak Revisi UU KPK: Lembaga Ini Di Ujung Tanduk

Suaramuslim.net – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menaikkan perkara dugaan korupsi kuota haji tambahan 2024 ke tahap penyidikan pada 9 Agustus 2025. Sejumlah pihak telah dimintai keterangan, termasuk pengurus asosiasi dan biro penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK). Namun, hingga hari ini, KPK belum menetapkan tersangka. Publik menunggu arah kasus ini; antara dugaan penyalahgunaan wewenang dan pelaksanaan diskresi administratif yang sebetulnya sah.

Pada tahap awal, KPK memperkirakan potensi kerugian negara mencapai lebih dari Rp1 triliun. Sejumlah biro dan asosiasi dilaporkan telah mengembalikan dana hampir Rp100 miliar sebagai bentuk klarifikasi. Sekilas, angka ini tampak besar, namun tanpa penetapan tersangka dan kejelasan struktur perkara, publik sulit memahami konteks faktualnya: apakah itu bukti tindak pidana, atau justru hasil kesalahpahaman administratif?

KPK juga menelusuri sekitar 13 asosiasi dan ratusan biro travel yang terlibat dalam penyelenggaraan haji khusus. Sejumlah saksi dari organisasi dan tokoh telah dipanggil. Langkah ini menunjukkan penyidik tengah berhati-hati, namun juga menimbulkan pertanyaan: sampai sejauh mana batas kewenangan KPK dalam memeriksa kebijakan yang lahir dari kewenangan diskresi?

Menembus jejak ke Arab Saudi

Yang terbaru, KPK menyatakan akan menelusuri jejak penyelenggaraan kuota tambahan hingga ke Arab Saudi. Ini adalah langkah investigatif yang tidak biasa, membawa penyidikan ke ranah diplomatik lintas negara.

Menurut informasi publik, penelusuran itu akan meliputi verifikasi dokumen pemberian kuota tambahan dari otoritas Saudi, pemetaan penggunaan slot visa, akomodasi, hingga dokumen komunikasi bilateral antara kedua pemerintah.

Secara teori, langkah semacam ini sangat kompleks. Penyidik harus memastikan bukti yang dikumpulkan admissible di pengadilan Indonesia. Itu artinya, setiap dokumen atau pernyataan pihak luar negeri mesti diperoleh melalui jalur hukum formal seperti Mutual Legal Assistance (MLA), atau setidaknya melalui nota diplomatik yang diakui pemerintah kedua negara. Tanpa itu, bukti lintas batas bisa dianggap tidak sah di persidangan.

Selain itu, penyidik juga menghadapi tantangan besar dalam menelusuri jejak keuangan internasional. Mulai dari transfer lintas rekening, kontrak dengan perusahaan Saudi, hingga potensi imbalan atau pungutan di luar mekanisme resmi.

Proses ini memerlukan koordinasi erat antara KPK, PPATK, dan Kementerian Luar Negeri, karena menyentuh ranah hubungan bilateral yang sensitif.

Antara diskresi dan delik

Perlu diingat, konteks awal kasus ini adalah diskresi administratif. Ketika Kerajaan Arab Saudi memberikan tambahan kuota 20.000 jemaah menjelang musim haji 2024, Menteri Agama mengambil keputusan cepat agar kesempatan berharga itu tidak terbuang. Dalam hukum administrasi, tindakan semacam ini dikenal dan dibenarkan sebagai diskresi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 22 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Diskresi dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum dan mencegah stagnasi pelayanan publik. Karenanya, penilaian terhadap sah tidaknya diskresi bukan ranah pidana, melainkan ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN). Bila tindakan administratif yang bersifat mendesak diseret ke ranah pidana tanpa kejelasan mens rea atau niat memperkaya diri, maka kita berisiko mengaburkan batas antara kebijakan publik dan kejahatan korupsi.

Tentu, KPK tetap harus diberi ruang untuk bekerja. Namun, di saat yang sama, kita juga perlu menjaga agar penyidikan tidak melampaui proporsinya. Karena bila semua kebijakan administratif dianggap berpotensi delik, maka pejabat publik akan kehilangan keberanian mengambil keputusan cepat demi kepentingan rakyat.

Tantangan diplomatik dan moral publik

Melakukan penyidikan di luar negeri, apalagi di Arab Saudi, memerlukan kepekaan diplomatik. Pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa kerja KPK tetap berada dalam koridor hubungan antarnegara yang saling menghormati. Ibadah haji adalah simbol spiritual, bukan semata urusan administratif. Maka, kehati-hatian menjadi keharusan, bukan pilihan.

Menjaga keseimbangan

Penyidikan lintas negara yang dilakukan KPK adalah cerminan keseriusan lembaga penegak hukum kita. Namun keseriusan itu harus disertai akurasi, proporsionalitas, dan penghormatan pada konteks administrasi pemerintahan. Karena pada akhirnya, hukum bukan hanya soal menghukum, tetapi tentang menjaga keadilan, kewarasan, dan martabat negara.

Kita berharap KPK tetap tegas, tapi juga arif; cepat, tapi juga cermat. Sebab, bila hukum dijalankan tanpa keseimbangan, ia bisa berubah menjadi alat ketakutan bagi pejabat yang seharusnya melayani rakyat. Dan bila setiap kebijakan publik bisa dengan mudah dianggap korupsi, maka pemerintahan akan berjalan dengan rasa waswas, bukan dengan keberanian moral.

Kita memang anti korupsi, dan semua yang melakukan korupsi harus ditindak tegas dan dihukum. Itu sudah komitmen bersama. Namun proses pemberantasan korupsi jangan sampai merendahkan martabat bangsa di mata dunia.

Penyidikan kasus kuota haji tambahan ke Arab Saudi harus dibarengi dengan informasi kepada pihak Saudi bahwa Indonesia ingin menjadikan urusan haji benar-benar bersih dan sesuai syar’i. Targetnya mendapatkan kepercayaan penuh dari pihak Saudi bahwa Indonesia memang tidak main-main ngurusi haji.

Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Ketua Litbang DPP Amphuri

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.