Suaramuslim.net – Kukira cupu ternyata suhu, istilah yang sedang trending ini digunakan saat ada rasa kagum (ekspresi bangga) atau terkejut ketika salah sangka menilai penampilan seseorang yang dikira biasa tetapi teryata memiliki sesuatu yang luar biasa bagi si “penyangka.”
Efek semakin ahli kita dalam berselancar di jagad maya, maka akan semakin kaya referensi yang kita dapatkan. Referensi yang selalu memiliki dua sisi mata pedang, jika kita mampu mengasah dan menguasainya, maka pedang itu akan bermanfaat mungkin bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bisa menolong orang lain.
Tetapi, jika kita sekadar tahu, tanpa memahami, kemudian karena trend atau viral, kemudian terbawa arus viralisasi, mencoba, dan sulit berhenti. Maka, pedang itu tidak akan sempat kita tajamkan dengan baik, dan bahkan dalam kondisi tumpul dan berkarat, pedang itu bisa menebas si pemegangnya tanpa mampu ia kendalikan. Naudzubillah min dzalik!
Nah, karenanya kita harus memiliki sikap yang bijaksana dalam menempatkan dan mengespresikan kekaguman, demikian pula kita harus berhati-hati dalam melihat dan menyimpulkan apa yang tersaji di hadapan kita.
Akhlak dalam bersosialisasi
Al-Qur’an merupakan sumber referensi terlengkap untuk seluruh umat manusia. Pelajaran, informasi, dan hikmah Al-Qur’an tidak terbatasi agama, gender, usia, zaman, dimensi, dan insya Allah semua persoalan hidup manusia terhubung dengan Al-Qur’an.
Kata manusia memiliki beberapa istilah dalam Al-Qur’an. Pertama; insun (إنس) yang memiliki kelembutan atau harmonisasi. Kedua, insan (إنسان) yang melekat pada makna aktivitas sebagai manusia. Ketiga; basyar (بشر) menerangkan tentang fisik manusia. Keempat; bani Adam (بنى آدم) menginformasikan tentang geneologi manusia. Dan kelima; an-nas (الناس) yang menjelaskan tentang sifat sosial manusia.
Sebagai makhluk bersifat individu sekaligus sosial, manusia senantiasa hidup berdampingan dengan berbagai karakter dan perbedaan lainnya. Agar bisa diterima dengan baik, manusia memiliki tantangan menampilkan akhlak terbaiknya. Karena akhlak adalah cerminan dari iman dan amal kita kepada Allah, maka jika penilaian baik kita dapatkan dari Allah, siapa yang bisa mengecilkan nama baik kita?
Maka, tidak ada yang keliru ketika kita mengajari keluarga dan anak-anak kita untuk cerdas dalam memilih teman dan komunitasnya. Menghargai dan menghormati perbedaan itu wajib, tetapi memberikan bekal ketangguhan untuk menghadapi perbedaan itu lebih utama.
Ketangguhan itu akan terwujud dalam pribadi yang mengetahui hakikat pencipta-Nya, hakikat dirinya (kekuatan dan kelemahan), serta mampu menampilkan kekuatannya sebagai sikap percaya diri yang positif dan proporsional.
Membangun rasa percaya diri
Islam menganjurkan kita memiliki kepercayaan diri yang kuat, fungsi utamanya adalah untuk mewujudkan jati diri berkualitas, melakukan pengembangan terhadap kepribadian, dan mendorong diri menuju suatu kesempurnaan sebagai hamba Allah SWT.
Kepercayaan diri juga akan berkorelasi dalam mewujudkan kebahagiaan khususnya bagi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Imam Shamsi Ali, pejuang dakwah di Amerika menyampaikan, “Percaya diri ini sesungguhnya menjadi pijakan bagi tumbuhnya keinginan untuk berubah dan maju. Tanpa percaya diri tak akan terjadi perubahan. Dan tanpa perubahan peradaban tidak akan terwujud,”
Menyikapi perilaku “berani” saat ini melalui media sosial, setidaknya bisa kita lihat dari dua faktor dalam sisi psikologis; internal dan eksternal.
Faktor internal berasal dari pemikiran individu atas dirinya dan faktor eksternal, salah satunya berasal dari pola asuh yang diterima individu, khususnya dalam rentang usia perkembangan kognitifnya.
Ketika individu matang secara emosi, mental, dan pemikirannya maka tidak sulit ia akan mampu menghadirkan keberanian yang dihiasi dengan kepercayaan diri. Karena “berani” saja tidak cukup untuk menjadi bagian dari percaya diri, apalagi menghadirkan sikap bijaksana dalam pergaulan atau bersosialisasi.
Kisah Rasulullah yang memberikan motivasi para sahabat dan pejuang di perang Badar, bisa menjadi teladan positif yang perlu kita implementasikan kepada generasi kita. Jumlah umat Islam yang masih sedikit, melaui konsep tauhid dan tawakkal kepada Allah, merasakan kebersamaan dengan Allah, penjagaan Allah, hingga janji-janji Allah yang akan selalu memberikan pertolongan kepada hamba-Nya, telah membakar semangat percaya diri bahwa kemenangan adalah janji Allah bagi umat Islam.
Kembali kepada kalimat, “Kukira cupu ternyata suhu” merupakan pelajaran bagaimana kita sebagai sesama manusia, harus memelihara prasangka baik dan sikap proporsional dalam menyikapi semua yang dialami.
Peran sikap proporsional
Proporsional adalah sikap yang cerdas sesuai dengan porsinya, seimbang, tidak berlebihan. Sikap ini akan mudah dilakukan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Semakin kuat iman seseorang, ia tidak akan mampu menemukan kata-kata yang buruk atau kotor. Karena pikirannya bening sebagai pancaran dari hati yang takwa.
Pribadi takwa tidak akan membiarkan sikap negatif menguasai dirinya. Ia akan menerima kesombongan sebagai katalis untuk menumbuhkan sikap rendah hati, akan menggunakan sifat dusta untuk menghadirkan kejujuran, mengatur sifat egois untuk mengimplementasikan sikap berbagi dan empati kepada sesama, dan seterusnya.
Saya menutup diskusi kita di sesi terakhir ini dengan semangat mengkaji kembali makna dan hikmah yang sampaikan Allah dalam surat ke-103 (Al-Ashr).
وَالۡعَصۡرِۙ, اِنَّ الۡاِنۡسَانَ لَفِىۡ خُسۡرٍۙ, اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوۡا بِالۡحَقِّ ۙ وَتَوَاصَوۡا بِالصَّبۡرِ
“Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”