Logika Purbaya dan sabun statistik: Ketika ekonomi tumbuh tapi pajak ngambek

Suaramuslim.net – Katanya ekonomi tumbuh 5,12%. Katanya pula target pajak meleset karena ekonomi turun. Lalu logika yang mana yang sedang dipakai ini, Bung Purbaya?

Logika ekonomi, logika sabun, atau logika politisi yang baru saja gagal menjual narasi sukses tapi masih ingin terlihat bersih di depan kamera?

Kalau ekonomi benar-benar tumbuh di atas target APBN, seharusnya penerimaan pajak ikut naik. Itu hukum dasar, bukan sihir. Tapi rupanya di republik ini, hukum ekonomi kalah oleh hukum retorika.

Setiap angka bisa di-make up seperti wajah selebritas menjelang pemilu — mengkilap di depan layar, tapi penuh jerawat data di balik layar.

Lucunya, Purbaya bilang “bukan salah orang pajak.”

Ah, tentu saja bukan. Mana mungkin salah orang pajak? Pajak itu makhluk suci.

Yang salah itu rakyat, yang malas belanja, malas bayar, malas hidup dalam inflasi, dan malas pura-pura bahagia.

Yang salah itu pelaku usaha, yang lebih percaya memarkir uang di deposito dolar ketimbang mengembangkan usaha di negeri yang tiap minggunya gonta-ganti kebijakan.

Yang salah itu dunia, yang tidak paham betapa hebatnya strategi ekonomi nasional versi sinetron birokrasi.

Purbaya lupa satu hal:

Kalau pajak gagal dicapai padahal pertumbuhan ekonomi katanya naik, artinya pertumbuhan itu hanya angka di PowerPoint — bukan realita di pasar, bukan realita di dapur rakyat.

Ekonomi tumbuh, tapi siapa yang tumbuh?

Rakyat atau data excel di Kementerian Keuangan?

Karena kalau pertumbuhan itu hanya milik segelintir konglomerat, sementara UMKM megap-megap bayar listrik, maka pajak ya pasti seret. Karena negara hanya menagih dari mereka yang sudah nyaris tak punya, bukan dari mereka yang pura-pura rugi.

Narasi “ekonomi tumbuh tapi pajak gagal” ini seolah-olah ingin menyelamatkan “muka kekuasaan”.

Seperti orang yang gagal diet tapi menyalahkan timbangan.

“Bukan saya yang gemuk, tapi gravitasi bumi yang meningkat!”

Begitulah kira-kira cara pejabat menjelaskan realitas ekonomi hari ini.

Mereka lupa bahwa rakyat bukan lagi penonton pasif yang hanya mendengar angka-angka.

Rakyat melihat pasar yang sepi, dagangan yang tidak laku, daya beli yang nyungsep, dan tagihan yang terus naik.

Jadi ketika pejabat bicara “ekonomi tumbuh 5,12%”, rakyat hanya mengangguk sambil menatap harga beras — karena yang mereka tahu cuma satu: yang tumbuh itu bukan ekonomi, tapi biaya hidup.

Purbaya mungkin tidak salah sepenuhnya. Dia hanya sedang mengulangi mantra lama: “semua baik-baik saja.”

Kalimat yang biasanya diucapkan sebelum badai datang. Karena ketika pajak meleset tapi pertumbuhan diklaim positif, itu artinya dua hal; entah negara sedang menipu diri sendiri, atau statistik sudah resmi menjadi alat propaganda.

Dan kita tahu, dalam politik ekonomi versi negeri ini, angka bukan lagi alat ukur. Angka adalah kosmetik. Yang penting glowing di media, biarpun bopeng di lapangan.

Kesimpulan

Kalau ekonomi benar-benar tumbuh tapi pajak gagal, mungkin yang tumbuh itu cuma narasi, bukan kesejahteraan.

Dan kalau pejabat masih sibuk menyalahkan “ekonomi turun” padahal data resmi bicara sebaliknya, maka ini bukan urusan pajak. Ini urusan logika yang sudah ikut diredam oleh sabun propaganda.

Inilah negeri yang kata klaim rezim ekonominya “naik”, tapi kantong rakyatnya “turun”.

Negeri yang pajaknya gagal, tapi retorikanya sukses.

Selamat datang di Republik Ilusi Statistik; saat angka bisa disulap, dan akal sehat dikubur dalam laporan triwulan.

Cak Bonang
Aktivis Srawungan Arek Kampung Suroboyo

Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.