SURABAYA (Suaramuslim.net) – Cuaca ekstrem dengan intensitas hujan tinggi yang terjadi di tanah air, membuat wilayah Indonesia dihantui bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, badai dan longsor yang kerap terjadi di beberapa daerah.
Kepala Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya Mohammad Nur Huda, S.T. dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (21/11) mengatakan, bencana yang terjadi di Indonesia 90% masuk dalam kategori hidrometeorologi. Yaitu bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter curah hujan, kelembaban, temperatur, angin meteorologi. Kekeringan, ujar Nur Huda, dimasukkan ke dalam bencana meteorologi karena disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi.
“Seperti yang sudah kita sampaikan dalam talkshow sebelumnya, beberapa wilayah Jawa Timur kemarin hujan deras disertai angin kencang dan puting beliung, misalnya Sidoarjo. Pada Senin kemarin, 20 rumah rusak di lima desa Kecamatan Tulangan akibat dilanda puting beliung. Selain itu, juga terjadi di kabupaten Magetan, hujan angin merusak puluhan rumah dan pasar pada Ahad lalu, maka peringatan dini kami sampaikan sebelumnya sudah tepat,” ungkapnya.
Nur Huda menyebut, banyak hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah banjir salah satunya adalah mengurangi dampak. Dengan kondisi saat ini, mengurangi dampak dari bencana banjir adalah hal yang paling realistis untuk kita lakukan, salah satunya menata daerah aliran sungai sesuai fungsinya.
Menurut Nur Huda, banjir juga disebabkan karena potensi hujan tinggi, di Jawa Timur intensitas curah hujan yang tinggi berada di wilayah tengah, di antaranya Ngawi, Kediri, Madiun, Blitar, Pasuruan dan wilayah timur Pasuruan, serta Banyuwangi dan Bondowoso di Timur.
“Curah hujan tahun 2018-2019 cukup banyak sekitar 2500 mm, maka ini perlu kewaspadaan pada daerah-daerah tersebut, karena selain potensi banjir ada, longsornya juga ada,” imbaunya.
Nur Huda menjelaskan, bencana banjir di kawasan dataran tinggi harus diwaspadai terutama banjir bandang. Banjir besar yang datang secara tiba-tiba dengan meluap, menggenangi, dan mengalir deras menghanyutkan benda-benda besar seperti kayu dan material lain.
“Ini yang perlu sinergitas kita bersama, mudah-mudahan dapat segera ditindaklanjuti sehingga paling tidak meminimalisasi korban dari bencana banjir,” pungkas Kepala Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya ini.
Sementara, narasumber dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Dr Suharjoko, MT dalam talkshow yang sama (21/11) menilai, daerah banjir yang dapat diantisipasi dengan hampir sempurna bisa dilihat pada Sungai Brantas. Sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo.
“Dimulai dari gunung Anjasmoro hingga Surabaya, Brantas itu sebenarnya bermuara pada Kali Mas, tetapi karena masuk jantung kota maka disodet ke Kali Jagir, sehingga Surabaya relatif aman, jika terjadi banjir maka bersifat lokal,” tutur dosen yang akrab meneliti tentang sungai dan laut ini.
Suharjoko menyebut contoh lain dalam merekayasa banjir, Kali Jagir dan Kali Porong yang merupakan salah satu sodetan atau terusan Sungai Brantas di Kota Mojokerto, mengalir ke arah timur dan bermuara di Selat Madura. Hal ini adalah produk terobosan era Hindia Belanda untuk menghindari banjir, sehingga tidak perlu direkayasa untuk menghindari terjangan banjir.
“Sedangkan sodetan Bengawan Solo ke Laut Jawa sebetulnya masih kurang maksimal untuk mengalirkan debit banjir, karena kapasitas sodetan saat ini sudah berkurang akibat bertambahnya sedimen yang masuk,” jelasnya.
Menurut Suharjoko, fenomena banjir di kota yang terjadi saat ini lebih banyak karena perubahan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kondisi sistem drainase yang sudah tidak memadai. Problemnya seperti di kawasan Sidoarjo, drainase yang digunakan sungai, avur bunting misalnya, sebetulnya didesain untuk kepentingan sawah. Sementara tempat yang dulunya persawahan sekarang berubah menjadi permukiman bahkan pabrik.
Seharusnya ada upgrade drainase, akan tetapi untuk penyelesaiannya tentu membutuhkan dana yang cukup besar. Selain itu juga kondisinya sulit, misalkan sudah dianggarkan untuk membeli alat, dikarenakan kawasan kanan-kiri sudah padat pemukiman, yang seharusnya 10-20 meter dari bibir sungai atau sempadan dilarang untuk dibangun, akhirnya tidak bisa merevitalisasi DAS tersebut,” ujarnya.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangaan kota, lanjutnya, maka perlu perencanaan tata ruang salah satunya aspek drainase. Drainase merupakan salah satu komponen yang tidak terpisahkan dalam rancangan perencanaan pembangunan. Komponen ini telah menjadi prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat khususnya di perkotaan dalam rangka menuju kehidupan kota yang nyaman, bersih, dan sehat.
“Di daerah perkotaan, drainase dibuat untuk mengalirkan air yang berasal dari hujan maupun air buangan agar tidak terjadi genangan yang berlebihan pada suatu kawasan tertentu,” imbuhnya.
Doktor Ilmu Rekayasa Keairan ITS Surabaya ini mengimbau masyarakat agar peduli terhadap lingkungan apalagi saat ini sudah memasuki musim penghujan. Di kota besar seperti Surabaya dan Sidoarjo yang perlu diperhatikan adanya genangan air. Sedangkan pada daerah tinggi yang dapat memicu banjir bandang perlu dicek kembali agar tidak terjadi bencana.
Kontributor: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir