SURABAYA (Suaramuslim.net) – Menristekdikti M. Nasir menargetkan pada 2020 sudah terdapat perguruan tinggi yang dipimpin rektor terbaik dari luar negeri. Setidaknya, ditargetkan dalam lima tahun ke depan terdapat lima PTN yang akan dipimpin rektor asing.
Untuk memuluskan rencana itu, Nasir berencana merevisi peraturan agar WNA bisa memimpin dan mengajar serta meneliti di PTN. Bahkan Nasir mengklaim sudah ada calon rektor dari Korea yang menawarkan diri. Namun, katanya, tak semudah itu saja bagi WNA untuk menjadi rektor di perguruan tinggi Indonesia.
Rektor Indonesia Kualitas Ekspor
Menanggapi wacana rektor asing ini, Rektor ITS Surabaya periode 2015-2019 Prof. Ir. Joni Hermana M.Sc.ES, Ph.D dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (8/8) mengatakan, yang menjadi pertanyaan apakah tidak ada orang Indonesia yang cakap untuk memimpin sebuah perguruan tinggi, hingga harus mengimpor rektor di perguruan tinggi Indonesia.
Jika pernyataan Menristekdikti menjadi wacana itu wajar, lanjutnya, karena untuk memacu adrenalin para rektor Indonesia supaya tertantang dan menjadi bangkit lebih dari biasanya.
“Tetapi jika impor rektor menjadi kenyataan, saya kira salah strategi karena dalam hal ini persoalannya bukan semata-mata orangnya, tetapi lebih kompleks dari mengganti orang, apalagi rektor,” paparnya.
Joni berpandangan, misal ada yang mengatakan “Saya NKRI dan Pancasila,” tetapi perilakunya tidak mencerminkan itu justru menjadi persoalan besar. Ia menyebut malah seharusnya para rektor kampus besar di Indonesia harus diekspor karena mereka berhasil menaikkan rangking dengan dana yang sangat minim.
Dahulu, jika melihat barang-barang di India rasanya sangat ketinggalan zaman dan tidak layak. Tetapi semakin bertambah waktu, India mengusahakan agar segala sesuatu dari buatan sendiri, jadi nasionalisme tercermin dari sikap mereka bagaimana membangun industri, bahkan India saat ini menjadi kekuatan ekonomi terutama bidang saintek.
“Hal-hal yang dilakukan India, seharusnya menjadi contoh bagi kita, seharusnya kita percaya dengan apa yang menjadi kekuatan sendiri,” tuturnya.
Pada saat melakukan proses pendidikan sama halnya membangun character building, lanjut Joni, dengan karakter itu diharapan mampu memperkuat kesatuan republik Indonesia. Persoalannya, sejauh mana kita berinvestasi di bidang itu? Jika yang dikejar hanya rangking seolah-olah Indonesia sudah bagus sehingga peringkat harus naik, tetapi faktanya pendidikan dasar menengah kedodoran.
“Ada pertanyaan besar, rangking juga tidak maju, pendidikan karakter juga sangat mengkhawatirkan meski ada politisi menyebut telah menginvestasikan 20 persen di bidang pendidikan,” ungkapnya.
Menurut Joni, meski dikatakan investasi bidang pendidikan 20 persen. Namun jika dirinci yang masuk ke Kemenristekdikti hanya 9 sekian persen, dan sisanya 12 persen dialokasikan untuk pendidikan di bawah naungan Kemenag. Pemerintah hanya memberi 10 triliun ke perguruan tinggi se-Indonesia yang jumlahnya 4.500 universitas.
“Sebetulnya, daripada kita bicara rangking-rangkingan, yang harus dijawab adalah pertama, apakah karakter bangsa telah berhasil ditransformasikan melalui UUD? Kedua, sejauh mana perguruan tinggi mampu berkontribusi untuk kemajuan bangsa?” Tanya Joni.
“Jika itu berhasil, pendidikan sudah luar biasa. Kehadiran kita (universitas) jangan jadi menara gading, hanya mengejar publikasi, tetapi tidak bermakna,” tandasnya.
Pendidikan Karakter Bangsa
Ketua Pusat Studi Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Unair Surabaya Dr. Suparto Wijoyo dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (8/8) mengibaratkan, jika saat ini orang ribut dengan world university pada abad 21, pada abad 10 juga terdapat Prabu Airlangga yang justru sudah menjadi sosok mendunia.
Jadi world university saat ini artinya ingin mengembalikan keunggulan masa lalu tetapi jangan lantas didikte asing.
“Janganlah kita berpikir instan soal pendidikan. Sekarang ini kampus-kampus menjadi sarang lesbian, gay, biseksual dan transgender/transeksual (LGBT) nanti ujung-ujungnya diatasnamakan HAM. Sehingga antara maksiat dan HAM tidak ada bedanya, hal-hal seperti ini mari kita perbaiki,” jelasnya.
Menurut Suparto, pendidikan ini urusan karakter bangsa, maka cara memperbaikinya yaitu bagaimana bangsa semakin baik akhlaknya, dan semakin mulia kehidupannya.
Sebagai contoh, tanpa Scopus, saat orang mencari kampus pembelajaran dan pengembangan ilmu Islam maka Al Azhar yang menjadi mercusuar. Al Azhar menjadi world class university karena keunggulannya yang sudah dikenal. Begitu juga jika ingin memperdalam hadis maka pergi ke Maroko, ada Darul Hadis.
“Jadi, yuk keunggulan ini kita perkuat, kampus harus memiliki daulat rakyat. Silakan rakyat memanfaatkan kampus besar kita. Orang ingin menjadi guru maka di Surabaya ya di Unesa, kemudian tokoh-tokoh besar mendunia padahal saat itu belum ada scopus,” imbaunya.
Suparto menilai, andai perguruan tinggi Indonesia nomor satu di dunia kemudian pertanyaan besarnya, apa manfaat itu bagi rakyat? Apakah bisa mempertebal rasa nasionalisme?
“Hal itu jangan dianggap remeh, mahasiswa saat ini tidak memiliki kepekaan bukan salah dosen, harga kebutuhan naik, ada kebijakan yang tidak pro rakyat, mereka semua tidak tahu, karena disibukkan menulis jurnal sebagai syarat kelulusan,” ucapnya.
“Mahasiswa saat ini tidak ada reaksi, mereka disibukkan urusan akademik dan angka-angka di kampus. Mereka tidak tahu berapa beras sekilo, mereka tidak paham apa kebutuhan rumah tangga. Karena mahasiswa sekarang diajari berapa jurnal yang ditulis, bukan untuk menyebar ide memberi solusi bagi rakyat, tapi menolong diri sendiri untuk segera bisa ujian,” pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir