Suaramuslim.net – “Politikus berkedok agama.”
“Awas politisasi agama. Menjual ayat dan hadits!’
Semula, disangkakannya itu jualan para pegiat harokah. Entah berwadah partai atau bukan. Nyatanya, yang sering dan berpengalaman soal tudingan itu adalah penuduhnya. Sejak era Sukarno berkuasa sampai tayangan terkenal bincang-bincang di sebuah televisi swasta nasional semalam (13/8) mengudara.
Alhasil, bercermin pada wajah sendiri memang amat mahal. Lebih mending mendakwa buruknya perangai pada saudara lain di luarnya.
Tetapi banyak yang tak mafhum soal ini. Malahan mereka memilih menuding anak-anak muda pihak lain, yang tengah getol bawakan agama dalam politik bangsa, seumpama kerbau belajar di Google. Sedianya merekalah lembu yang dibebani hafalan dan fasihnya mendaras kitab tapi abai pada cermin diri.
Kekokohan menyebutkan pihak lain lebih literalis, tekstual, atau formalis. Kadang sebagian kita lupa bahwa oposisi biner tidak mesti terjadi abadi. Mereka disebut seperti itu, sedangkan kita sebaliknya. Padahal, praktik yang terjadi, kita malah lebih tekstual dan formalis daripada pihak yang dituduh.
Soalan seperti itu sering ditemui dalam kasus kita lebih Pancasilais sedang mereka tidak; kita nasionalis, mereka jualan negara agama. Atau bentuk yang lain; mereka primordial, dan kita pluralis. Sayangnya, klaim itu hangus justru oleh kepongahan kita. Serupa dengan eks petinggi sebuah lembaga yang memasarkan pluralisme belum lama ini terjerembab oleh kilahan katanya. Yang malah bernada sentimental sarat prasangka dibanding pihak yang sering ditelitinya selama ini.
Di sinilah kehidupan berbangsa di negeri ini akan kondusif dan riuh oleh kesadaran menghargai perbedaan manakala semua itu berangkat dari ketulusan. Bukan misi pemenangan politik. Apa pun klaim di permukaan yang tampak merdu bagi awak media arus utama.
Di sinilah wasathiya, moderasi, beragama menemukan momen bukan lewat mistifikasi sejarah bahwa kelompok anu paling setia NKRI dan Pancasila. Karena memang berbangsa itu bukan memerlukan berbangga-bangga pada klaim, melainkan pembuktian dalam pengabdian. Dan kalangan islamis yang disebut harokah atau islamis literalis tak mesti disudutkan salah melulu sebagai pihak yang fakir imajinasi bernegara di Indonesia. Di sinilah pentingnya semua komponen bangsa bercermin.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net