Masjid Quba ala Rohingya

Masjid Quba ala Rohingya

Krisis Rohingya: Inggris Sediakan Dana 87 Juta Pounsterling untuk Pengungsi di Cox's Bazar
Kondisi Masjid di Camp Pengusian Rohingya di Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh (Foto: SMNET/Amin Sudarsono)

Oleh : Amin Sudarsono (Sekretaris Forum Zakat)

PERNAH menonton film The Message? Kisah tentang Nabi Muhammad saat pertama kali menebarkan risalah Islam di Makkah dan Yatsrib. Di sana ada Masjid Quba, yang pertama kali dibangun Nabi.

Bentuknya: dinding lumpur kering, beratap pelepah kurma dan alasnya masih pasir dan tanah. Itu bangunan 1.439 tahun yang lalu, seribu tahun yang lalu dalam hitungan purnama! Dan kini, wujud itu nampak kembali di mata saya: di kamp pengungsian Rohingya, Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh.

*

Pukul 12.00. Matahari terik menyengat. Ini hari Jumat, biasanya di Indonesia sudah bersahutan suara tarhim sebelum azan Jumat. Di sini, kamp pengungsian Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, tidak ada suara itu. Saya mulai rindu.

Kami membersamai tim medis di posko pengobatan. Saya tanya ke Akter Maruf, relawan We the Dreamers yang membantu para dokter Indonesia, kapan shalat Jumat dimulai? Dia bilang azan pukul 12.00 lebih dan shalat dimulai 13.00. Tapi, lamat-lamat pun tak terdengar.

Lalu saya berjalan ke rumah Dokter Anwar. Ini buka orang Indonesia, dia lelaki Rohingya yang ikut mengungsi. Tinggal di bedeng panas beralas tanah. Kami bertemu keluarga, anak-anaknya. Bahkan, balita dokter Anwar kurus kering kurang gizi. Nanti saya ceritakan khusus tentang dokter ini.

Pukul 12.45, suara azan terdengar dari jauh. Gaya azan pendek-pendek. Tidak seperti muazin Indonesia yang melenggak-lenggok suaranya. Bergegas kami keluar tenda, yang panasnya mungkin 40 derajat itu.

Mengikuti lelaki-lelaki Rohingya berjalan turun bukit. Tampak di tengah pemukiman pengungsi, sebuah bangunan yang seluruhnya dari bambu. Luasnya sekitar 10 x 12 meter. Atapnya dari terpal. Dindingnya, dari bambu yang dianyam lebar-lebar. Angin dan debu leluasa menerpa kulit jamaah yang di dalam.

Lelaki-lelaki Rohingya, rata-rata berbaju putih, memakai kopiah putih. Banyak juga yang hanya kaos seadanya. Mereka yang lansia tampak lebih tertib. Berbaris dulu di saf pertama. Banyak mereka yang berjenggot lebat disemir merah.

Mereka mengambil air wudhu. Caranya, air hasil pompa diisikan ke sebuah ceret plastik. Lalu dikucurkan, dan sesedikit mungkin air digunakan di situ. Air sulit di masa kering, kala hujan pun bila tanpa penampungan sama sulitnya, apalagi di pengungsian.

Masjid Pengungsian Rohingya tidak muat menampung jamaah (Foto: Amin Sudarsono)

Lalu mereka masuk berjejal-jejal. Tidak cukup. Jamaah terlalu banyak. Bangunan itu sesak di dalam. Manusia berdiri. Sementara puluhan lain masih berdatangan. Mereka tertahan di luar. Akhirnya keluar terpal dari rumah-rumah. Dipakai alas di bawah langit yang panas.

Khatib berdiri. Tidak ada mimbar di sini. Pengeras suara ada, tapi listrik tiada. Jadi speaker tidak berguna, mungkin pajangan saja, berpantas-pantas jadi masjid bersama.

Khutbah dalam Bahasa Rohingya. Tak paham saya artinya. Sepotong-sepotong khatib sebut nama Salman, sebut nama Jabir. Dia seperti mengutip hadis atau bercerita tentang sirah. Tapi tak ada suara sampai barisan belakang. Mereka yang di tengah pun tidak mendengar. Entah bagaimana syarat rukun shalat itu jadinya. Andai ada yang menyumbang megaphone tentu baik, daripada buat demonstrasi tidak jelas.

Pukul 13.30 tiba-tiba semua orang berdiri. Shalat akan dimulai. Lamat-lamat terdengar takbir. Tak sampai belakang. Saya sendiri putuskan jamak ta’khir.
Keringanan saya sebagai musafir. Selain celana saya kotor dan khawatir najis. Saya akan salat nanti di penginapan.

Usai salam, bubar barisan. Saya merangsek ke dalam. Saya ingin bertemu imam dan khatib. Bertanya apa yang dibicarakan dan bagaimana membina Islam kaum Rohingya. Tapi gagal.

Kata dokter Anwar orang Rohingya itu, imam akan ada musyawarah. Jadi tidak bisa diganggu. Katanya, imam orang Tabligh-i Jamaat, mereka yang berkeliling berdakwah mengajak shalat. Orang Rohingya, tapi mereka tak kenal namanya.

Peran Tabligh sangat penting. Saya keliling kamp. Meskipun banyak yang Jumat, tapi banyak juga yang lelaki tidur saja di dalam tenda. Kebanyakan anak muda dan anak. Konon, karena represi Myanmar bertahun-tahun, mereka dijauhkan dari ritual agama. Tidak paham. Memang namanya Arab, tapi tidak melaksanakan ritual Islam. Penting rasanya, jutaan manusia itu, disentuhkan lagi dengan Islam. Terlalu lama mereka tercerabut dari akarnya.

Pengungsi Rohingya selepas Shalat Berjamaah (Foto : Amin Sudarsono)

Selesai sudah shalat Jumat di pengungsian. Saya berjalan kembali ke posko medis. Termenung sepanjang jalan setapak. Bagaimana Rohingya membangun tapak, mereka lapar, tanpa masa depan, tanpa kepastian, tanpa kewarganegaraan. Apa yang membuat mereka tetap ingin hidup? Kepedihan, kesakitan, kejaran peluru dan ketertindasan tak membuat mereka ingin bunuh diri. Mereka punya nyali, punya nyawa, dan punya agama.[]

Cox’s Bazar, Bangladesh, 6 Oktober 2017

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment