Membasahi jiwa yang kering

Suaramuslim.net – Ketika rumput yang mengering tersulut oleh api sekalipun hanya sedikit percikannya maka terbakarlah ia. Bagaimana kalau ‘rumput kering’ itu ada di mana mana? Maka dengan cepatnya menjadi kebakaran yang bersifat masif.

‘Rumput kering’ itu gambaran dari jiwa yang kering dan tandus yang sedikit bahkan sama sekali tidak tersentuh sejuknya tetesan air.

Ketika jiwa jiwa manusia sudah mengering maka jiwanya tertutup susah untuk menerima kebaikan. Sebaliknya sentuhan dengan api kejahatan nafsu dan bisikan setan akan cepat membakar emosionalnya dengan tidak terkendali. Dan itu menyebabkan bahaya baik di dunia nyata maupun di kehidupan akhirat.

Dalam Al-Qur’an jiwa/hati yang kering, hampa, yang tertutup dari kebenaran karena ada noda hitam pekat yang menghalangi kebenaran disebut dengan jiwa yang rona (ران). Perhatikan firman Allah Q.S. Al-Muthoffifin 14;

كَلَّا بَلْࣝ رَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ۝١٤

Sekali-kali tidak! Bahkan, apa yang selalu mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.

Kata ران /rona, terambil dari kata الرين / Ar-Rain yang berarti karatan atau noda hitam yang biasanya ada pada cermin.

Diriwayatkan bahwa nabi Muhammad bersabda bahwa seorang mukmin bila berdosa maka menetes dalam kalbunya titik hitam bila ia bertaubat maka titik hitam terhapus dan bila bertambah dosanya bertambah pula titik hitam itu sampai akhirnya memenuhi hatinya dan itulah ران /rona yang dimaksud firman Allah (Riwayat At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah).

Bagaimana membasahi jiwa yang kering itu?

1. Kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.

Yaitu dengan menjalankan pokok-pokok Islam dengan istiqamah seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, senang berbagi dengan sesama lewat sedekah dan zakat serta menjauhi larangan-Nya maka hati akan lembut subur dengan memancarkan kebaikan.

Apapun profesi seseorang apakah sebagai aparat atau mahasiswa akan tercegah berbuat anarki atau kejahatan lainnya, lebih-lebih sampai melukai atau menghilangkan nyawa orang lain apabila telah berjalan di jalan syariat. Minimal dengan jiwa yang bersyariat akan tercegah dari bahaya keringnya jiwa.

2. Tegakkan jiwa berkeadilan bagi siapa pun, khususnya para pemimpin.

Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin ketika membahas bab ‘Perintah Kepada Para Pemimpin untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya dan memperhatikan kebutuhan mereka’ dan bab ‘Pemimpin yang adil’, membukanya dengan ayat-ayat “keadilan”.

Seolah keadilan itu hal penting bagi pemimpin yang harus dilakukan untuk membangun sebuah pemerintahan yang bersih lagi mensejahterahkan. Ada ayat inspiratif yang sangat pas dengan situasi kita saat ini, yaitu Q.S. Al-Maidah ayat 8.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ۝٨

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Sebab turunnya ayat ini adalah terkait pengkhianatan kelompok Yahudi Bani Nadhir yang hendak membunuh Nabi Muhammad.

Saat itulah mereka mendapatkan konsekuensinya untuk meninggalkan kota Madinah. Namun mereka tetap bertahan di benteng-benteng yang mereka miliki sehingga Nabi Muhammad dan seluruh sahabatnya mengepung benteng tersebut selama enam malam. Ketika menyerah, mereka memohon kepada Nabi untuk diizinkan meninggalkan Madinah dengan membawa harta benda sebanyak beban muatan yang bisa dibawa oleh onta.

Waktu itu ada sebagian umat Islam yang memiliki pandangan supaya Nabi Muhammad menghukum mereka dan menimbulkan banyak korban di tengah mereka supaya bisa menjadi pelajaran bagi mereka.

Lalu turunlah ayat itu untuk mencegah dan melarang kaum mukminin dari perbuatan melampaui batas dan berlebihan dalam melakukan atau menerapkan hukuman kepada mereka, akhirnya Nabi Muhammad pun menyetujui dan menuliskan permohonan kaum Yahudi tersebut.

Ternyata berbuat adil bagi siapapun dan kepada siapapun sekalipun kepada orang yang hendak berbuat jahat atau anarkis dan membuat dirimu membencinya, adalah perintah Allah. Agar manusia dapat kehidupan yang damai.

3. Jangan berbuat zalim kepada siapapun.

Lawan dari keadilan adalah perbuatan zalim atau kezaliman. Artinya siapapun yang tidak adil berarti ia telah berbuat zalim.

Allah melarang keras kepada manusia untuk berbuat zalim seolah Allah memerintahkan siapapun selalu berbuat adil. Begitu kerasnya sehingga Allah melaknat pelaku kezaliman.

Allah berfirman;

أَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

“Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.” (Q.S. Hud: 18).

Perbuatan zalim berakibat mendapatkan azab yang keras serta kelak di akhirat tidak ada teman yang dapat membantunya;

نَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ

“Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu.” (Q.S. Saba: 40).

مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ

“Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya.” (Q.S. Ghafir: 18).

So… Keadilan dapat mengantarkan kepada ketenangan dan kesejahteraan adapun kezaliman dapat membuat bencana kerusakan di dunia dan akhirat. Karena itu keadilan berlaku kepada siapapun terlebih kepada para pemimpin.

Rakyat berhak menyampaikan aspirasinya dengan berdemonstrasi. Tapi dalam berdemonstrasi harus sesuai dengan hukum beragama dan hukum positif di Indonesia yaitu dilarang melakukan hal-hal yang melanggar hukum lainnya seperti membakar fasilitas publik, menjarah harta benda orang lain dan lain sebagainya.

Karena perbuatan seperti itu adalah sebuah kezaliman. Hukum berbuat zalim adalah haram, baik pelakunya masyarakat umum apalagi pemimpin.

Itulah Nabi Muhammad bersabda;

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Waspadailah perbuatan aniaya karena sesungguhnya perbuatan aniaya (zalim) adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” (Riwayat Muslim dari Jabir bin Abdillah).

Karena itulah dalam melakukan demonstrasi untuk menuntut keadilan maka lakukanlah dengan cara-cara yang adil!

4. Siapapun berbuat ihsan terutama pemimpin dan di antara perbuatan ihsan adalah bersifat empati dengan kondisi rakyatnya yang masih dalam kehidupan yang belum bisa dikatakan hidup sejahtera.

Sehingga pemimpin yang ihsan adalah pemimpin yang bersahaja dengan menghindari gaya hidup bermewahan yang berlebihan yang membuat jarak yang dalam dengan rakyatnya.

Bermewah-mewahan biasanya diikuti dengan perbuatan melanggar aturan Allah. Karena istilah bermewah-mewahan itu ada unsur kesombongan diri dan berpotensi meninggalkan aturan Allah. Karena itu Allah pernah mengingatkan mereka untuk sadar diri patuh kepada aturan Allah agar tetap berempati dengan kalangan bawah.

وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا

Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.

5. Semuanya kembali meneladani Nabi Muhammad dalam meredam amarah jiwa.

Mengendalikan jiwa dengan saling memaafkan dan tidak terpancing kejahatan orang kepada kita.

Coba renungi bagaimana Nabi Muhammad dalam menghadapi provokasi orang-orang musyrik dan istri Abu Lahab, Beliau tidak terpancing sekalipun saat dihina namanya diplesetkan dengan nama ‘Mudzammama’ (manusia tercela).

Bahkan Ummu Jamil (istri Abi Lahab) membuat syair untuk melecehkan Nabi.

مذمما قلينا و دينه ابينا و امره عصينا

Kami benci Mudzammama, kami abaikan agamanya, kami langgar perintahnya.

Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, apa jawab Nabi Muhammad?

الا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش و لعنهم

“Tidak ta’jubkah kalian bagaimana Allah telah menyelamatkan diriku dari celaan mereka.”

Sahabat bingung, kemudian Nabi menjelaskan;

يشتمون مذمما و يلعنون مذمما و انا محمد

“Yang mereka hina itu Mudzammama dan yang mereka cela itu mudzammama sedangkan Aku adalah Muhammad.”

Perhatikan Nabi Muhammad tidak membuka celah sedikitpun untuk terpancing dengan permainan mereka.

Seolah Nabi berpesan janganlah ucapan orang lain mengambil kendali emosi kita. Karena kalau itu terjadi berarti kita telah kalah. Wallohu a’lam.

M Junaidi Sahal
Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya
4 September 2025/11 Rabiul Awwal 1447

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.