Suaramuslim.net – Kutipan cukup terkenal dari Paul Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Jerman, masih cukup relevan hingga kini “Kebohongan sekali tetap kebohongan, tetapi kebohongan yang disampaikan ribuan kali akan menjadi kebenaran”. Bahaya, memang sangat bahaya. Apalagi saat ini, berita-berita bohong yang biasa dikenal dengan istilah “hoax” menyebar luas di dunia maya dapat mempengaruhi kehidupan nyata masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ bisa diartikan sebagai ‘berita bohong.’ Sementara dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’.
Berita hoax sangat meresahkan masyarakat terutama generasi milenial. Tidak tanggung-tanggung, karena mudahnya mengakses berita yang tidak diketahui itu benar atau tidak, generasi milenial bisa saling tuduh-menuduh. Bisa dibayangkan jika sebuah situs yang isinya 90% hoax berarti akan membodohi pembacanya setiap hari. Hoax merupakan eksploitasi terhadap sisi psikologis manusia yang bisa menimbulkan keresahan, kecemasan, hilangnya hormat pada tokoh otoritas, bahkan dapat memicu pertikaian dan perpecahan. Emosi manusia dijadikan objek bahkan alat untuk memicu reaksi tertentu. Berita bohong digunakan untuk memengaruhi orang lain untuk melakukan hal-hal bodoh karena perasaan ingin membantu, bahkan takut dan turut terpicu. Tak heran teknik “social engineering” seperti penggunaan berita bohong untuk kepentingan tertentu sering kali sukses.
Penting untuk disadari bahwa bahwa bahaya hoax ini tak ubahnya seperti narkotika. Hal ini disampaikan oleh akademisi Komarudin Hidayat, bahwa “Momok dari penyebaran berita bohong atau hoax tak ubahnya seperti peredaran narkotik dan pornografi. Bahayanya yang tidak kalah mengerikan adalah menyebabkan pembunuhan karakter karena merupakan manipulasi, kecurangan, dan bisa menjatuhkan orang lain”.
Di era milenial dan serba digital ini, mudah sekali orang-orang membuat berita atau informasi hoax. Hampir semua berita bisa dibubuhi informasi palsu. Mulai dari politik hingga kesehatan. Akibatnya banyak pihak, tua, muda, remaja bahkan anak-anak termakan berbagai informasi palsu atau bohong tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Masyarakat Anti Fitnah, Septiaji Nugroho. Menurutnya, generasi milenial adalah generasi yang paling rentan terkena paparan berita palsu.
Sebagai orang tua, tentu kita tidak ingin melihat anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang mudah termakan berita palsu. Terlebih, menjadi generasi yang kurang cerdas, tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta cenderung menanggapi segala hal dengan sikap-sikap radikal. Untuk itu, perlu kesadaran bagi orang tua untuk “melatih anak berpikir kritis” sejak dini. Tidak hanya itu, mengajari anak berpikir kritis juga bisa mengembangkan sisi kognitifnya.
Mengapa harus diajarkan sejak dini? Karena anak-anak punya rasa ingin tahu yang jauh lebih besar dari orang dewasa. Membiasakan mereka berpikir kritis sejak dini akan membantu mereka untuk memahami sesuatu dengan lebih baik. Latihan berpikir kritis ini bukan hanya sekadar pendidikan iseng yang dilakukan oleh orang tua pada anak. Melainkan pendidikan jangka panjang, sebagai bekal kehidupan saat anak beranjak dewasa kelak.
Melatih anak berpikir kritis bukan dipahami sebagai mengajarkan anak untuk “mengkritik”. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengevaluasi sesuatu secara sistematis atau kemampuan untuk menganalisa fakta yang ada dan membuat perbandingan. Dengan membuat perbandingan anak bisa menarik kesimpulan dan membuat solusi dari suatu masalah yang muncul. Sedangkan menurut Richard W. Paul, berpikir kritis adalah sebuah proses intelektual yang secara aktif dan terampil memahami, mengaplikasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman, dan komunikasi yang dilakukan.
Agen pendidikan pertama kali bagi anak-anak adalah orang tua mereka. Anak-anak usia 3 – 5 tahun menghabiskan 70% waktu mereka di rumah. Untuk itu, orang tualah yang bertanggung jawab untuk memberikan pondasi pendidikan di masa emas perkembangan mereka. Salah satu prinsip utama dalam membentuk anak untuk berpikir kritis adalah dengan pertanyaan. Beruntunglah orang tua yang memiliki anak-anak yang rajin bertanya. Itu berarti keinginan belajar mereka sangat kuat. Jangan mematahkan semangat mereka dengan menghentikan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pertanyaan Adalah Kunci Berpikir Kritis
Belajar, bagi anak-anak, tidak hanya tentang buku pelajaran dan buku-buku. Belajar dan berpikir kritis bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun. Dalam hal ini, pertanyaan menjadi kunci utama untuk mengajak anak berpikir kritis. Mengajarkan anak berpikir kritis bermula dari pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang sesuatu di sekitar mereka. Saat sedang berada di restoran, misalnya, kita bisa mengajak anak untuk berpikir kritis. Dimulai dengan pertanyaan sederhana tentang makan menggunakan sumpit dengan sendok. Mengapa menggunakan sumpit? Apa bedanya menggunakan sumpit dengan sendok? Pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut mendorong anak untuk melakukan observasi. Setelah itu, bimbing anak untuk memperoleh kesimpulan dari apa yang baru saja mereka pelajari.
Dalam hal ini, kembali ditekankan bahwa berpikir kritis tidak selalu tentang analisis yang rumit tentang sains. Bagi anak-anak, proses berpikir kritis bisa dimulai dengan melakukan observasi dan membuat simpulan.
Jika saja setiap orang tua memiliki kesadaran untuk melatih anak berpikir kritis, maka bukan bukan impian lagi menjadikan Indonesia terbebas dari hoax lebih cepat. Negara kita ini membutuhkan generasi-generasi hebat, generasi cerdas, generasi yang tidak mudah termakan berita hoax, serta generasi yang mampu menciptakan sesuatu. Generasi ini tercipta dari anak-anak usia dini yang dilatih untuk berpikir kritis.