Suaramuslim.net – Koalisi menjadi sebuah kata yang “sakral” dijagat perpolitikan kita. Kata koalisi bermakna meniadakan sekat untuk berjalan bersama. Semangat koalisi adalah berjalan bersama dan mencapai tujuan bersama dengan mengabaikan perbedaan dan mengangkat persamaan.
Koalisi itu ibarat orang mau menikah, meski dirasa ada perbedaan, tapi selama perbedaan itu bisa dipahami dan dimaklumi dan mampu menemukan persamaan-persamaan untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih baik, maka kedua belah pihak akan bertemu dan mengikat janji.
Dalam koalisi ada rasa saling percaya, saling membutuhkan, saling mengapresiasi dan saling menghormati serta saling rela bergandeng tangan untuk menggapai tujuan yang lebih besar didepan. Persoalannya bagaimana seseorang bisa mempercayai orang lain kalau dalam kesehariannya apa yang dilakukan selalu mencela dan mencurigai apa yang dilakukan orang lain.
Bagaimana mungkin seseorang bisa menghormati orang lain, kalau dalam kesehariannya perilaku yang ditampilkan gemar merendahkan dan melemahkan apa yang dikerjakan oleh orang lain. Bagaimana mungkin juga seseorang bisa mempercayai orang lain kalau perilaku kesehariannya sering melukai kepercayaan yang diberikan oleh orang lain.
Setiap apa yang dirasakan oleh seseorang dan kemudian diasumsikan kepada orang lain, biasanya dipengaruhi oleh pengalaman yang pernah dialami. Sebagai contoh kalau Anda menduga orang lain bila bertemu dengan orang selalu berimplikasi pada imbalan materi, itu artinya pengalaman Anda bisa dipastikan seperti itu. Karena penilaian orang akan selalu dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yang tersimpan dialam bawah sadarnya.
Sehingga ketika ada kejadian yang variabelnya mirip dengan apa yang Anda lakukan, maka kesimpulannya selalu akan dibuat sama seperti pengalaman Anda selama ini. Jadi sejatinya pengalaman bawah sadar adalah cerminan dari apa yang kita perbuat selama ini. Alam bawah sadar merupakan cermin iujur apa yang kita perbuat selama ini.
Kalau cara berpikir Anda selalu positif terhadap orang lain bisa dipastikan pengalaman Anda bersama orang lain biasanya Anda warnai dengan perilaku positif. Sebaliknya kalau Anda selalu berasumsi orang lain jangan-jangan tidak jujur kepada Anda, bisa diduga Anda pernah berbohong kepada orang lain ketika Anda dipercaya. Pengalaman Anda akan selalu mewarnai asumsi Anda terhadap orang lain.
Merenda rasa dan mewarna akal budi
Kembali kepada semangat koalisi, semangat ini tentu substansinya adalah silaturrahim, mengikatkan kembali semangat kebersamaan, menumbuhkan kepercayaan dan menghilangkan perbedaan dengan memperkuat kebersamaan dan persamaan.
Mengikatkan kembali jalinan persaudaraan sebagai warga bangsa tentu tidak bisa dijalankan ketika didalam perasaan dan akal yang Anda miliki masih menyimpan kecurigaan, kebencian dan apapun yang sejatinya bertentangan dengan semangat persaudaraan. Lalu bagaimana menepis itu semua?
Sebuah rasa dan jalan pikiran terbentuk oleh sebuah pengalaman masa lalu yang kemudian tersimpan didalam benak alam bawah sadar. Merubah itu semua tentu tidak bisa serta merta begitu saja. Dibutuhkan latihan dan pendidikan diri yang terus menerus, sehingga bisa membenamkan lebih dalam rasa dan rasio negatif yang ada didalam diri.
Pendidikan Karakter
Membenam perilaku negatif yang tersimpan dialam bawah sadar sejatinya bukanlah pekerjaan yang sulit, karena bisa dilakukan dengan menjalankan sebuah kebiasaan baik. Persoalannya terletak pada kerelaan kita, apakah kita mau atau tidak.
Membenam kecurigaan dan belajar mempercayai adalah sebuah keniscayaan yang harus dimiliki. Selama jiwa Anda dirawat dengan kecurigaan, maka tak akan mampu Anda membangun kepercayaan baik terhadap diri maupun orang lain.
Mendidik diri dan membiasakan dengan perilaku baik adalah sekolah kehidupan yang harus dijalani. Sebagai guru, kalau kita ingin dipercaya oleh anak didik, maka mulailah dengan bisa memberi kepercayaan kepada orang lain. Sebagai orang tua kalau kita ingin dihormati oleh anak, maka mulailah dengan bisa menghormati keberadaan anak beserta cara-cara berpikirnya. Pada intinya apa yang terjadi pada diri kita tidak bisa begitu saja dilepaskan dari pengalaman yang pernah kita miliki.
Akhirnya saya hanya ingin menyiapkan diri saya bahwa saya harus belajar memaknai dan menempatkan diri pada tempat dan lingkungan yang tepat, sehingga saya bisa berada pada posisi yang tepat pula.
“Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebahagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebahagian kalian mengejek sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat : 12)
*Ditulis di Surabaya, 25 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net