Suaramuslim.net – Ruang sidang megah di markas besar PBB, New York, biasanya penuh bahasa diplomatik yang rapi, kalimat panjang, dan kadang terasa jauh dari ucapan manusia biasa.
Tapi Senin (22/09/2025), suara dari mimbar itu terdengar lain. Presiden RI Prabowo Subianto, dengan intonasi tegas penuh tekanan, mengawali pidatonya begini:
“It is with a heavy heart that we recall the ongoing, unbearable tragedy in Gaza. Thousands of innocent lives, many of them women and children, have been killed. Famine looms. Human catastrophe is unfolding with our eyes.”
Bisa jadi, kalimat ini adalah yang paling jujur keluar dari seorang kepala negara di forum internasional. Tidak ada basa-basi teknis.
Prabowo langsung menyebut tragedi, menyebut anak-anak, menyebut bencana kemanusiaan. Kalimat tersebut jika diartikan kira-kira begini:
“Dengan hati yang berat kita mengenang tragedi yang sedang berlangsung, yang tak tertahankan, di Gaza. Ribuan jiwa tak bersalah, banyak di antaranya perempuan dan anak-anak, telah terbunuh. Kelaparan mengintai. Bencana kemanusiaan sedang berlangsung di depan mata kita.”
Dari Jakarta ke New York
Indonesia bukan pemain baru dalam isu Palestina. Sejak era Bung Karno, sikap Indonesia selalu jelas, yaitu: mendukung kemerdekaan Palestina. Tapi kali ini ada nuansa berbeda. Prabowo tidak mau hanya mengulang posisi lama, ia memberi aksen baru. Kutipannya jelas:
“We must recognize Palestine now. We must stop the humanitarian catastrophe in Gaza.” (Kita harus mengakui Palestina sekarang. Kita harus menghentikan bencana kemanusiaan di Gaza).
Pesan ini sederhana tapi keras. Kata “now” menekankan urgensi. Tidak bisa ditunda, tidak bisa menunggu putaran perundingan tanpa ujung.
Yang lebih menarik, Prabowo juga menyelipkan pragmatisme. Indonesia, katanya, bersedia mengakui Israel jika Israel lebih dulu mengakui Palestina.
Formula ini terdengar seperti kompromi politik, tapi sebenarnya adalah pesan: tidak ada jalan damai tanpa pengakuan timbal balik.
Realita yang tidak bisa ditutup
Kita tahu, politik internasional jarang tunduk pada moral murni. Negara-negara besar punya kalkulasi masing-masing: ada yang dengan kalkulasi hubungan dagang, aliansi militer, dan ada pula yang dengan kalkulasi kepentingan energi.
Di situlah suara Prabowo mencoba menembus tembok real-politik. Seakan ingin menegaskan bahwa politik internasional Indonesia tunduk pada moral murni. Sebagaimana yang digariskan dalam konstitusi, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.
Presiden Prabowo bahkan menawarkan hal konkret, yaitu: Indonesia siap mengirim pasukan penjaga perdamaian, asal ada mandat internasional. Itu artinya, bukan hanya bicara, tapi siap turun di lapangan.
Permasalahannya adalah: apakah dunia akan langsung berubah setelah pidato ini? Tidak. Israel masih kukuh, Amerika masih jadi pelindung utama, Uni Eropa masih tarik-ulur. Namun, pidato seperti ini menambah tekanan moral. Memberi sinyal bahwa semakin banyak negara tidak mau hanya menjadi penonton tragedi.
Nurani vs. Diplomasi
Kalau dilihat dari kacamata akademik, pidato Prabowo sebenarnya punya dua lapis. Pertama, lapisan nurani: menyebut anak-anak yang tewas, rumah sakit yang hancur, kelaparan yang mengancam. Ini berbicara kepada hati, bukan hanya kepala diplomat.
Kedua, lapisan diplomasi: solusi dua negara, pengakuan timbal balik, tawaran pasukan perdamaian. Ini berbicara kepada sistem internasional yang sering kaku.
Nah, kombinasi ini penting. Karena suara nurani tanpa jalan diplomasi sering berakhir hanya sebagai seruan moral. Sebaliknya, diplomasi tanpa nurani bisa kering dan kehilangan legitimasi.
Apa artinya bagi Palestina?
Bagi rakyat Palestina, pidato Prabowo bukan obat instan. Tapi setidaknya, dunia mendengar lagi bahwa ada negara besar di Asia Tenggara yang berani menyebut nama mereka, berani mendesak pengakuan, dan berani menawarkan solusi konkret.
Bagi Indonesia sendiri, pidato ini mempertegas posisi sebagai “suara Selatan Global” di panggung dunia. Menjadi jembatan antara moralitas publik internasional dan kalkulasi politik negara-negara besar. Apakah cukup? Belum. Tapi setiap langkah kecil tetap berarti.
Akhirnya, di bagian akhir artikel ini saya ingin mengatakan begini: Pidato Prabowo di PBB adalah pesan kepada dunia bahwa kemanusiaan harus didahulukan dari kalkulasi.
Apakah dunia akan mendengarkan? Itu urusan lain. Yang jelas, di tengah ruang sidang megah yang sering dipenuhi kalimat diplomatik panjang dan membosankan itu, suara Indonesia kali ini terdengar jernih:
“Recognition must mean a real chance towards lasting peace.” Sederhana. Padat. Dan tepat sasaran.
Semoga pidato ini benar-benar menginspirasi dunia dan membuka era baru penyelesaian damai bagi seluruh umat manusia.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.