Suaramuslim.net – Gagasan menghapus pelajaran agama di sekolah kembali muncul. Polemik tentang hal ini terus mengalami pasang surut. Dikatakan pasang surut, karena ketika muncul penolakan kaum muslimin tentang isu penghapusan pelajaran agama, langsung muncul bantahan. Yang unik, bantahannya dengan menampilkan berbagai argumen yang terkesan diada-adakan. Padahal jelas adanya pernyataan perlunya “penghapusan pelajaran agama di sekolah” sangat eksplisit. Realitasnya, ketika masyarakat tenang, ternyata isu ini kembali muncul.
Beberapa hari ini isu penghapusan pelajaran agama kembali muncul, dan beberapa saat muncul klarifikasi untuk menenggelamkan dan membantah isu itu. Namun yang agak berbeda, isu kali ini digulirkan oleh seorang pengusaha, Setyono Djuandi Darmono. Dia menyebut secara eksplisit bahwa pendidikan agama tak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orang tua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.
Opini ini sangat jelas muaranya untuk menghapus pelajaran agama di sekolah. Sebagaimana sebelumnya, ketika menjadi polemik, maka isu ini kembali dibantah dan meminta masyarakat agar tidak menyalahtafsirkan gagasannya.
Menghapus Pelajaran Agama dan Gagasan Sekularisasi
Wacana penghapusan pelajaran agama kali ternyata tidak main-main, dan dimunculkan oleh seorang seorang pengusaha, SD Darmono. Dia menyebut bahwa pendidikan agama tak perlu diajarkan di sekolah, dan cukup diajarkan orang tua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah. Bahkan dengan berani, dia menyarankan kepada presiden Joko Widodo untuk mewujudkan gagasan ini. Dia beralasan bahwa pendidikan agama harus menjadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Ia menganggap bahwa pelajaran agama cukup diberikan di luar sekolah seperti masjid, gereja, Pura, Vihara dan lainnya.
Pernyataan kontroversi Darmono ini langsung menjadi polemik, dan beberapa saat kemudian muncul klarifikasi membantahnya. Dalam klarifikasinya disebutkan bahwa masuknya faham keagamaan yang ekstrim ke sekolah dan universitas perlu menjadi perhatian. Sehingga materi pembelajaran dan kualitas guru-gurunya perlu ditinjau ulang. Jika pelajaran agama dalam aspek-aspeknya yang dianggap kurang, maka hal itu menjadi tanggung jawab setiap orang tua dan komunitas umat beragama, seperti masjid, gereja atau vihara. Jadi intinya bukan mengeluarkan pelajaran agama dari sekolah, tetapi sebuah koreksi dan renungan atas kurang maksimalnya peran pendidikan agama di sekolah.
Dengan adanya klarifikasi itu memang sedikit bisa meredam gejolak, tetapi pandangan masyarakat tetap memandang bahwa gagasan untuk menghapuskan pelajaran agama di sekolah sangat kuat, meskipun dengan argumen yang dipaksakan. Yang menarik, kalau selama ini gagasan penghapusan pelajaran agama disampaikan praktisi pendidikan, namun kali ini disampaikan oleh seorang pengusaha. Seolah memiliki kuasa dengan argumen yang yang dicari-cari, dia berani meminta presiden untuk mengapresiasi gagasannya.
Diakui atau tidak, pandangan penghapusan pelajaran agama bukan hanya melahirkan polemik tetapi menimbulkan konflik dan polarisasi sosial. Bahkan energi positif yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun kebersamaan tetapi justru melahirkan pembelahan masyarakat. Dengan adanya gagasan kontraproduktif ini, mau tidak mau, masyarakat mereaksi negatif, dan energi anak bangsa ini kembali terkuras serta hilang sia-sia. Kalua ditinjau dari perspektif agama, maka penghapusan pelajaaran agama merupakan gagasan sekularisasi, dimana ujungnya akan menyingkirkan spirit agama dalam komunitas pendidikan.
Mengaku Religius Tapi Atheis
Gagasan penghapusan pelajaran agama di sekolah bukanlah ide baru. Gagasan ini merupakan langkah lanjutan sekaligus untuk menguji kepedulian umat Islam terhadap upaya memisahkan agama dalam kehidupan publik. Kalau sebelumnya muncul gagasan menghapus kolom agama dalam KTP, maka saat ini bergulir lagi isu yang lebih dahsyat, yakni menghapus pelajaran agama di sekolah. Bisa jadi kalau penolakan umat Islam melemah atau lengah, maka bisa jadi gagasan ini (menghapus pelajaran agama di sekolah) akan terealisir. Minimal muncul kebijakan-kebijakan untuk mengurangi spirit agama dalam lingkungan pendidikan.
Meskipun gagasan penghapusan agama jelas bertentangan dengan konstitusi, namun upaya semangat untuk menjalankan gagasan itu demikian kuat. Betapa tidak, amanah UUD 1945 pasal 31 ayat 3 jelas dan tegas berbunyi bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggrakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang” Namun gerakan penghapusan pendidikan agama di sekolah terus digulirkan dengan segala dan upaya yang melibatkan berbagai pihak.
Hal ini bisa menjadi indikasi kuat bahwa bangkitnya kelompok yang alergi terhadap agama bukanlah isapan jempol. Meskipun pihak Kemendikbud sudah mengklarifikasi bahwa tidak ada penghapusan agama, namun masih saja gagasan konyol itu terus digulirkan. Sudah seharusnya umat Islam mengabaikan gagasan ini untuk bisa bekerja lebih maksimal, namun tetapi cermat dalam mengamati upaya-upaya jahat itu.
Kalua ditinjau secara empiris, gagasan penghapusan pelajaran agama itu tidak banyak berlandaskan fakta tetapi hanya berdasarkan asumsi. Sudah jelas bahwa negara ini berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, namun masyarakat terus dibenturkan dan terus disodori gagasan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama.
Agama terus dijadikan kambing hitam guna memuluskan jalan untuk meminggirkan peran strategisnya. Sudah jelas bahwa spirit agama telah terbukti berperan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Tetapi agama terus mengalami serangan ketika ada peluang untuk meminggirkannya. Tidak salah bila ada yang berpandangan bahwa orang beragama tapi pikirannya atheis. Bisa jadi orang mengaku Islam tapi pikiran dan perilakunya justru melawan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, banyak orang mengaku religius tetapi pandangan dan perilakunya justru untuk merusak religiusitas.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net