Inilah Alasannya Mengapa Kita Harus Berilmu?

Inilah Alasannya Mengapa Kita Harus Berilmu?

Inilah Alasannya Mengapa Kita harus Berilmu

Suaramuslim.net – Sebagian orang mengira, dengan memperbanyak amal dan ibadah maka akan mendapatkan pahala bahkan jaminan surga dari Allah subhanahu wa ta’ala. Padahal belum tentu. Tanpa didasari ilmu, ibadah yang dilakukan tidak akan mendapatkan apa-apa.

Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kita dalam firmannya, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al-Furqan: 23)

Apakah hanya sebatas ini saja? Tidak. Amalan yang tidak dilandasi dengan ilmu, bukan hanya dianggap sebagai butiran pasir dan debu yang berterbangan tetapi juga tidak akan diterima bahkan bisa jadi penyebab masuknya ke dalam api neraka.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (al Ghasyiah:1- 4).

Berkata Ibnu Abbas, ”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang sangat panas. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab khusus tentang ini di dalam kitab Shahih beliau,  yaitu Bab: “Berilmu sebelum berucap dan beramal.”

Ilmu, Menjadi Dasar Ibadah

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Mengapa menuntut ilmu wajib? Imam Abdullah menjawab, “Dengan ilmu kita dapat mengetahui bahwa yang wajib adalah wajib, yang sunnah adalah sunnah, yang haram adalah haram. Tidak hanya itu, selain mengetahui hukum tiap perbuatan, seseorang dapat menunaikan tugas-tugasnya sebagai hamba Allah ta’ala dengan sebaik-baiknya, karena berlandaskan ilmu.”

Berikut adalah keutamaan ilmu agama, sebagaimana dilansir dari rumasyo.com,
Pertama, hanya orang berilmu yang paling takut pada Allah. Hal ini bisa direnungkan dalam ayat, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).

Para ulama berkata,  “Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah.

Kedua, ilmu mempunya keutamaan luar biasa. Hadist yang diriwayatkan dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim, “Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan akhirat senantiasa meliputi orang yang berilmu dan dengan ilmulah syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah, 1: 104).

Ketiga, dengan ilmu, manusia akan dipahamkan kepada agamanya. Orang yang dipahamkan agama, itulah yang dikehendaki kebaikan. Hadist yang diriwayatkan dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037).

Yang dimaksud fakih dalam hadits tersebut bukanlah hanya mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari itu. Dikatakan fakih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan dengan syari’at Allah. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Kitabul ‘Ilmi, hal. 21.

Keempat, orang yang berilmu akan hidup terus setelah matinya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Kelima, ilmu menghidupkan hati sebagaimana hujan menyuburkan tanah. Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kontributor: Yetty
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment