Suaramuslim.net – Belum lekang duka atas musibah yang dialami oleh saudara sebangsa dan setanah air di bumi Lombok, pada hari Jum’at (28/9/2018). Allah menguji kembali negeri ini dengan gempa dan tsunami di tanah Donggala, Palu.
Peristiwa yang mengundang pilu itu bagi orang-orang beriman mengandung pelajaran yang berarti. Apa yang terjadi adalah bagian dari ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah, yang menyimpan pesan yang perlu diartikan. Suatu musibah maut diartikan sebagai azab, bencana, peringatan, balasan dan lain sebagainya. Pada dasarnya tidak lepas dari bingkai ayat-ayat Allah yang mengandung hikmah baik bagi individu maupun secara kolektif.
Sebagai contoh, bisa dibaca kisah dari QS Al-Qamar (54) ayat 9-17. Siapa di antara pembaca yang tak tahu mengenai bencana yang dialami kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang ingkar? Sebagai seorang nabi dan Rasul, beliau telah menyampaikan secara baik pesan-pesan Allah kepada kaumnya. Ironisnya, peringatan beliau ditanggapi dengan sinis oleh kaum Nabi Nuh dan dituduh sebagai orang gila. Bahkan, pada akhirnya diusir dari sana.
Setelah dakwahnya yang berlangsung selama 950 tahun tak diindahkan, beliau menengadah ke langit, meminta tolong kepada Allah atas pembangkangan kaumnya yang begitu sengit. Terbukalah pintu langit dengan air hujan yang demikian deras. Bumi pun tak mau kalah, terpancarlah mata air yang keluar dengan begitu dahsyat yang nantinya bercampur dengan air dari langit. Pada momentum tersebut, orang-orang kafir terjungkir. Sementara orang-orang beriman selamat bersama Nuh berada di dalam bahtera yang langsung berada dalam pengawasan Allah Yang Maha Kuasa.
Nah, setelah peristiwa yang begitu mengerikan itu, ayat ini ditutup dengan dua pesan yang langsung menusuk jantung kesadaran manusia. Pertama, bekas-bekas atau jejak-jejak yang dijumpai oleh orang setelah Nabi Nuh mengenai kapal (atau yang lainnya) merupakan ayat Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan ayat-ayat itu dimaksudkan untuk diartikan dipahami dan diambil pelajarannya. Kedua, peristiwa yang dialami oleh kaum Nabi Nuh yang membangkang, itu bagian dari siksa sekaligus peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Banjir maha dahsyat itu sebagai siksaan keras atas mereka. Sedangkan bagi orang-orang beriman bersama Nuh, serta orang-orang yang hidup setelahnya, kejadian itu sebagai Warning (peringatan) keras agar tak berbuat seperti mereka.
Dalam QS Al-Isra (17) ayat 59 pun, ada pesan serupa dalam mengartikan ayat Allah yang dalam pandangan kebanyakan orang sebagai bencana alam. Pada ayat itu, kaum Tsamud di hukum oleh Allah. Yang pada ayat lain disebutkan dengan angin topan yang sangat dingin akibat kedustaan dan kezaliman mereka. Di akhir ayat, Allah menegaskan, “Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu, melainkan untuk menakut-nakuti.” (QS. Al-Isra [17]: 59)
Output dari sanksi yang ditimpakan kepada kaum Tsamud ialah sama, agar melahirkan sikap takut atau jera bagi orang-orang setelahnya agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, dalam mengartikan bencana Palu tak cukup hanya sebagai bencana alam yang perlu dibantu dan ditangani dengan segera oleh bangsa dan negara agar segera pulih, atau sebagai peristiwa sambil lalu yang mengundang pilu. Sebagai ayat Allah, gempa dan tsunami di Palu memberikan warning bagi kita semua, khususnya Bangsa Indonesia.
Mari segera bertaubat secara nasional, mengevaluasi diri, bermuhasabah, menghitung-hitung kekurangan dan kealpaan kita. Bisa jadi, sebagai bangsa kita masih banyak ingkar pada ayat-ayat Allah. Lebih mengandalkan rasio dan kehebatan teknologi sebagai manometer dahulu yang sering berlaku zalim dan tak peka terhadap peringatan-peringatan yang diberikan Allah selama ini. Sebagai sesama anak bangsa, kita memang merasa pilu dengan apa yang terjadi di Palu. Mari membantu mereka dan merespon kebutuhan mereka. Namun, tetap dalam satu bingkai kesadaran untuk menjadikannya sebagai peringatan dari Allah agar kita bisa memperbaiki diri dan berusaha menjadi lebih baik untuk kedepannya.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono