Suaramuslim.net – Polemik dikembalikannya MPR sebagai lembaga tertinggi negara semakin ramai dengan berbagai pendapat. Sayang, pendapat pro kontra itu tidak dilandasi dengan dasar yang benar seperti halnya pendapat Wapres JK.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bicara soal risiko yang terjadi terkait wacana amendemen UUD 1945. Salah satu risikonya, kata JK, bisa saja presiden kembali dipilih MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
“Itu rumit lagi, berisiko. Banyak perubahan yang rakyat belum tentu setuju. Contoh, presiden dipilih MPR karena lembaga tertinggi. Maka dia berhak memilih presiden. Kalau begitu lain lagi soal,” kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/19).
Rupanya JK tidak mendalami bagaimana negara berdasarkan Pancasila itu dan bagaimana kedaulatan rakyat itu.
Kedaulatan rakyat bukan hanya soal memilih langsung presiden model presidensil dengan demokrasi liberal kemudian semua dipasrahkan kepada presiden terpilih dan rakyat tidak bisa protes jika keputusan presiden memberatkan rakyatnya.
Dengan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, maka MPR menyusun GBHN. Di GBHN itu pembangunan diejawantahkan dari kehendak rakyat, oleh sebab itu presiden adalah mandataris MPR yang harus menjalankan GBHN dan presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri.
Rakyat pun bisa mengontrol presiden lewat anggotanya di MPR dan di akhir jabatannya presiden harus mempertangungjawabkan apa yang sudah dicapai dan apa yang belum.
Arah pembangunan jelas bisa dikuti. Ke mana arah tujuan pembangunan bangsa ini bisa dikontrol.
Bagaimana dengan saat ini? Pembangunan tergantung visi misi presiden dan janji-janji kampanye. Jika visi dan misi serta janji-janji tidak ditepati maka rakyat tidak bisa menuntut bahkan hanya bisa menerima akibat kebijakan yang membuat biaya hidup mahal, listrik naik, bbm naik, biaya sekolah dan kesehatan mahal, rakyat tidak bisa memprotesnya.
Coba rasakan yang namanya kedaulatan hanya dimaknai memilih langsung, kemudian pasrah “bongkokan” pada apa maunya presiden. Mau impor beras saat petani panen raya, mau impor ikan di negeri yang ikannya banyak ini, tentu rakyat hanya bisa “ngedumel.”
Bandingkan dengan pembangunan adalah kehendak rakyat yang tertuang di dalam GBHN yang harus dijalankan presiden sebagai mandataris MPR. Dia tidak bisa melakukan impor beras manakala petani panen raya.
Jika MPR menjadi lembaga tertinggi negara maka MPR menyusun GBHN dan kemudian memilih presiden untuk menjalankan GBHN.
Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri atau kelompoknya, di akhir masa jabatannya presiden harus mempertangungjawabkan di depan MPR. Inilah kedaulatan rakyat sesungguhnya.
Bukan seperti sekarang, presiden seenaknya mau apa saja. Mau utang setinggi gunung tidak perlu ada pertangung jawaban.
Jadi, kedaulatan rakyat bukan soal memilih langsung tetapi jauh lebih dari itu pembangunan adalah kehendak rakyat bukan kehendak presiden dan presiden harus bertangung jawab terhadap MPR.
Tidak bisa mendatangkan tenaga kerja Tiongkok berbondong-bondong kalau rakyat tidak menghendaki sebab pembangunan itu keinginan rakyat. Atas nama kedaulatan, rakyat bisa mengontrol presiden.
Apalagi menjalankan politiknya Tiongkok dengan proyek OBOR dan membangun infrastruktur kemudian bisa dijual seperti jalan tol, pelabuhan, bandara seenaknya, utang yang begitu besar. Rakyat tidak bisa mengontrol atas nama kedaulatan rakyat.
Maka mengembalikan tatanan mula NKRI adalah kesadaran untuk berpikir bagaimana masa depan anak cucu kita.*
Krapyak Yogyakarta
Prihandoyo Kuswanto
Direktur Rumah Pancasila
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net