Suaramuslim.net – Makam Sunan Drajat terletak di Desa Drajat Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Seperti Wali Songo yang lain, makam Sunan Drajat berada di dalam sebuah bangunan bertungkub yang dindingnya dihias ukiran kayu yang indah.
Makam Sunan Drajat terletak di selatan Jalan Raya Daendels yang merentang antara Gresik dengan Tuban, tak jauh dari kota, kecamatan Paciran, Lamongan.
Asal usul Sunan Drajat
Sunan Drajat lahir dengan nama Raden Qosim, diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Sunan Drajat adalah putra bungsu Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila.
Menurut Babad Risaking Majapahit dan Babad Cerbon, Raden Qasim adalah adik Nyai Patimah bergelar Gede Panuran, Nyai Wilis alias Nyai Pengulu, Nyai Taluki bergelar Nyai Gede Maloka, dan Raden Mahdum Ibrahim bergelar Sunan Bonang.
Ini berarti, garis nasab Sunan Drajat sama dengan Sunan Bonang yakni berdarah Champa – Samarkand – Jawa karena Sunan Ampel ayahandanya adalah putra Ibrahim Asmarakandi.
Menurut sumber lain, Sunan Ampel menikah dengan Dyah Siti Manila binti Arya Teja, lahirlah tiga orang putra. Seorang laki-laki yaitu Sunan Bonang dan dua orang putri yaitu Nyi Gede Maloka dan Nyi Gedeng Pancuran.
Kemudian Sunan Ampel kawin lagi dengan seorang putri lain. Dari perkawinan ini lahir Masaih Munat, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Drajat. Jadi Sunan Bonang dan Sunan Drajat sama-sama putra Sunan Ampel, hanya berlainan ibu.
Menurut Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, Sunan Drajat belajar agama kepada ayahandanya sendiri, yakni Sunan Ampel. Kemudian Sunan Ampel mengirimnya belajar kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Babad Cerbon mengungkapkan setelah berguru ke Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat menikah dengan putri Sunan Gunung Jati yang bernama Dewi Sufiyah. Di kemudian hari, Sunan Drajat juga menikah dengan Nyai Kemuning putri Kyai Mayang Madu dan menikah juga dengan Nyai Kediri.
Ajaran Sunan Drajat
Menurut Widji Saksono dalam Mengislamkan Tanah Jawa, ada dua faktor elementer yang menopang keunggulan dan keistimewaan para wali sehingga mereka berhasil dalam perjuangan mengislamkan masyarakat Jawa.
Faktor pertama para wali menjadikan ajaran-ajaran Islam tidak menjadi inklusif dipenuhi oleh perintah dan larangan syariat. Mereka juga tidak hanya bertujuan agar nilai Islam dimengerti rakyat, tetapi lebih dari itu, mereka berusaha agar Islam diamalkan dalam kehidupan nyata.
Faktor lain ialah mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid ulung yang memahami Islam sebagai suatu nazhari (teori) ataupun sebagai gagasan yang abstrak.
Bahkan mereka pun menaruh perhatian, memiliki pengetahuan dan sikap tegas terhadap persoalan kemasyarakatan zaman mereka sebagai suatu kenyataan aktual dan konkret.
Islam dipahami sebagai cita dan keharusan sedangkan masyarakat Jawa sebagai realitas mereka diperhitungkan dengan paduan kompromi dalam strategi, dan harmoni dalam langkah Islamisasi.
Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat.
Setelah memberi perhatian penuh, baru Sunan Drajat memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ajarannya lebih menekankan empati dan etos kerja keras berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong royong.
Ajaran mengentaskan kemiskinan ala Sunan Drajat itu dikemudian hari dikenal dengan istilah tujuh filosofi atau prinsip dasar ajaran Sunan Drajat. Berikut ketujuh filosofi tersebut:
Pertama, Memangun Resep Tyasing Sasama, yang artinya: kita selalu membuat senang hati orang lain.
Kedua, Jroning Suka Kudu Eling Lan Waspodo, yang artinya: dalam suasana gembira hendaknya selalu ingat Tuhan dan selalu waspada.
Ketiga, Laksitaning Subrata Lan Nyipta Marang Pringga Bayaning Lampah, yang artinya: dalam upaya menggapai cita-cita luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan.
Keempat, Meper Hardaning Pancadriya, yang artinya: senantiasa berjuang menekan gejolak-gejolak nafsu duniawi.
Kelima, Heneng-Hening-Hanung, yang artinya: di dalam diam akan dicapai keheningan dan di dalam keheningan akan mencapai jalan kebebasan mulia.
Keenam, Mulya Guna Panca Waktu, yang artinya: pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan salat lima waktu.
Ketujuh, Wenehono teken marang wong kang wuto. Wenehono mangan marang wong kang luwe. Wenehono busana marang wong kang wuda. Wenehono pangiyupan marang wong kang kudanan.
Yang artinya: berikan tongkat pada orang yang buta. Berikan makan pada orang yang lapar. Berikan pakaian pada orang yang telanjang. Berikan tempat berteduh pada orang yang kehujanan.
Adapun maksud dari filosofi ketujuh ini adalah: berilah ilmu agar orang menjadi pandai. Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin. Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu. Serta berikanlah perlindungan pada orang-orang yang menderita.