Akibat teror bom biadab yang beruntun di Surabaya, mulai banyak pihak yang memancing di air keruh, memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan politiknya dalam kesempitan teror yang merugikan semua pihak. Yang pro-Jokowi, ada oknum yang berusaha menghantam kelompok-kelompok Islam yang anti-Jokowi, yang anti-Jokowi juga ada oknum yang menyalahkan rezim karena dianggap tidak becus, keduanya sama-sama kurang ajar, dan harus dihentikan.
Siang ini, Senin (14/5) Kantor DPP PKS, partai Islam yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi dan dekat dengan berbagai kelompok Islam, dan konon punya hubungan dengan Ikhwanul Muslimin, didemo oleh sekelompok orang karena dianggap pro terhadap terorisme.
Kalau dipikir dengan akal sehat Partai Politik yang merupakan instrumen dalam membangun negara, mustahil hendak mengacaukan dan mengobrak-abrik negara. Hanya karena kritis dan dekat dengan kelompok-kelompok Islam yang kritis terhadap rezim.
Ada juga yang menyebut PKS pro teroris karena menghambat proses Revisi UU Terorisme. Padahal jelas keterangan dari Ketua Panja RUU Terorisme RM Syafi’i bahwa DPR dan termasuk Fraksi PKS di dalamnya sudah menyetujui seluruh poin pasal RUU yang ada. Justru menurutnya Panja Pemerintah (Eksekutif) yang belum menyelesaikan pembahasan-pembahasannya.
Pihak-pihak yang anti terhadap PKS mengaitkan, menguatnya sentimen Islam Politik atau bahasa mereka Politisasi Islam, yang PKS ikut didalamnya sebagai awal dari aksi teror yang baru saja terjadi. Bagi mereka sentimen kesadaran politik umat Islam yang membawa identitas tak jauh beda dengan teroris. Disini lagi-lagi nalar dan akal sehat kita diuji.
Lain urusan politik, ada pula kelompok yang memukul rata bahwa kelompok Islam non NU dan Muhammadiyah punya kedekatan ideologi dengan para teroris. Selain Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin santer disebut-sebut berkaitan dengan aksi teror. Pukul rata ini juga berpotensi merembet ke kelompok-kelompok islam lain yang identik seperti Jamaah Tabligh, Wahdah Islamiyah, Dewan Dakwah dan seterusnya. Padahal kelompok-kelompok ini yang biasa disebut barat sebagai fundamentalis, tak punya rekam jejak melakukan teror dan kekerasan dalam perjuangannya.
Ada lagi kelompok yang mengaitkan teror dengan Dai Sejuta Viewers Ustadz Abdul Somad yang sedang menjadi kecintaan umat, karena potongan ceramahnya yang menyampaikan bahwa aksi HAMAS melawan Israel dengan mengorbankan martir, bukanlah bom bunuh diri melainkan mencari syahid. Disini terdapat perbedaan pendapat yang pelik dan perlu didiskusikan dengan jernih. Yang jelas jika merujuk pada ceramah Ustadz Abdul Somad, pendapatnya didasarkan pada pendapat jumhur ulama dimana ada kaidah Dharuriyah bahwa Palestina adalah Darul Harbi dimana kondisi-kondisi diluar standar bisa dilakukan, berbeda dengan Indonesia yang merupakan Darul Aman yang tak dibenarkan melakukan upaya seperti di Darul Harbi. Yang jelas kita perlu bertabayyun kepada beliau dan menjauhkan prasangka serta tidak mudah menjatuhkan dakwa bahwa beliau mendukung teroris. Dan lagi lagi nalar dan akal sehat kita diuji.
Sementara soal Jihad, memang tak sedikit kelompok-kelompok Islam yang tak mau menafikan Jihad sebagai bagian dari Islam dan memang begitu adanya. Sementara persepsi publik telah terbentuk bahwa Jihad adalah teror dan kemudian memukul rata bahwa penyeru Jihad tak ada bedanya dengan peledak bom. Padahal Jihad dalam ajaran islam amat ketat dan bukan sekedar angkat sejata. Dan termasuk larangan tegas dalam Jihad adalah merusak rumah ibadah agama lain, membunuh anak-anak, membunuh orang tua, menebang pohon dan larangan-larangan lain yang sangat spesifik. Jadi jelas bahwa teror sangat bertentangan dengan jihad, terlebih Jihad kontekstual, yang bermakna bersungguh-sungguh berjuang dalam setiap ranah kontribusi untuk kemuliaan Islam dan rahmat bagi semesta alam.
Bahkan lebih bodohnya lagi, stigmatisasi dan framing akibat tersebarnya foto terduga pelaku teror akan kembali menguatkan sentimen islamophobia. Jika tak dicegah dengan akal sehat, kita akan melewati lagi masa-masa phobia tak hanya terhadap cadar atau celana cingkrang, tapi juga terhadap keluarga-keluarga muslim taat.
Sementara dari luar, kelompok-kelompok Islam disudutkan, akal sehat umat Islam juga benar-benar diuji, tak sedikit yang berpikir tak waras menganggap terorisme adalah rekayasa dan pengalihan isu. Hal ini makin menyudutkan kelompok-kelompok Islam, dan akan disebut bahwa mereka tak memiliki empati terhadap korban teror. Asumsi-asumi yang liar ini harus ditahan. Ustadz Bachtiar Nasir, satu diantara Ulama yang dianggap memimpin umat juga tegas melarang umat Islam berasumsi.
Maka ketika kelompok diluar kelompok-kelompok Islam menyudutkan dan mendakwa terorisme berkaitan dengan kelompok-kelompok Islam, dan kelompok-kelompok Islam berasumsi liar terhadap terorisme. Disinilah senjata utama melawan terorisme adalah menggunakan nalar dan akal sehat. Jika akal sehat tak digunakan, tujuan para teroris untuk memecah belah kerukunan bangsa jelas tercapai. Satu kelompok dan kelompok lain sesama anak bangsa akan terus dan semakin bertikai tanpa ujung. Jadi, mari lawan teror dengan akal sehat!