Mens rea dan keadilan: Menelisik niat di balik kasus kuota tambahan haji 2024

Suaramuslim.net – Secara sederhana, mens rea adalah guilty mind (niat jahat) yang menyertai actus reus atau perbuatan melawan hukum (Ashworth, 2016). Dalam hukum pidana modern, pertanggungjawaban pidana menuntut terpenuhinya dua unsur, yaitu:

  1. Actus reus: tindakan nyata yang melanggar hukum.
  2. Mens rea: niat, kesengajaan, atau sikap batin tercela saat melakukan tindakan tersebut.

Konsep ini penting untuk membedakan antara “pelanggaran yang disengaja” dan “kesalahan yang tidak disengaja”. Tanpa analisis mens rea, hukum berisiko menjadi kaku dan hanya prosedural, yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan substantif (Fletcher, 2000).

Relevansi mens rea dalam kebijakan publik

Walau berakar pada hukum pidana, mens rea memiliki relevansi dalam kebijakan publik. Kebijakan yang melanggar hukum administrasi bisa saja tidak mengandung niat jahat. Namun jika pembuat kebijakan sadar bahwa keputusannya bertentangan dengan hukum dan tetap melakukannya untuk keuntungan tertentu, unsur mens rea terpenuhi (Roberts & Zuckerman, 2010).

Dalam konteks tata kelola pemerintahan, pengujian mens rea pada pembuat kebijakan dapat menjadi alat evaluasi akuntabilitas publik (Peters & Pierre, 2016).

Kasus kuota tambahan haji 2024

Terkait kasus tambahan kuota haji sebanyak 20.000 dari Arab Saudi pada musim haji 2024 yang dibagi 50% untuk haji reguler dan 50% untuk haji khusus, yang berbeda dari amanat UU No. 8/2019 yang menetapkan proporsi 92:8, maka pertanyaan hukum yang muncul adalah:

  • Apakah perubahan ini semata kesalahan administratif?
  • Apakah murni diskresi untuk kepentingan pelayanan jamaah?
  • Atau terdapat niat tertentu yang bertentangan dengan hukum?

Jika ada kesadaran bahwa kebijakan ini melanggar undang-undang dan dilakukan demi keuntungan pihak tertentu, mens rea dapat dikatakan ada. Jika tidak ada niat jahat, maka secara pidana mens rea tidak terpenuhi, meskipun ada actus reus dalam bentuk pelanggaran norma administratif.

Diskresi Menteri Agama dan implikasi hukumnya

Dalam hukum administrasi negara, diskresi adalah kewenangan mengambil keputusan di luar aturan baku untuk kepentingan umum (UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 9). Namun, diskresi harus memenuhi syarat yang meliputi: tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dilakukan untuk kepentingan umum, dan dilaksanakan secara proporsional (Hernowo, 2019).

Kasus kuota tambahan haji 2024 menimbulkan pertanyaan: apakah pembagian kuota cukup diatur melalui Surat Keputusan (SK) Menteri, atau seharusnya dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) yang diundangkan di Lembaran Negara?

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perubahan substansial terhadap pengaturan yang diatur dalam undang-undang harus dituangkan dalam peraturan perundangan yang setingkat atau di bawahnya sesuai hierarki, yaitu Peraturan Menteri. Permen harus mendapat pengesahan Menkumham dan diundangkan dalam Berita Negara agar berlaku sah (Maria Farida, 2017).

SK Menteri, secara hukum, hanya bersifat beschikking atau keputusan konkret individual, bukan norma umum yang mengubah proporsi pembagian kuota. Karena itu, jika proporsi kuota 92:8 diubah menjadi 50:50, secara teori hukum administrasi hal ini semestinya diatur dalam Permen, bukan dengan SK. Jika dilakukan hanya dengan SK, maka terdapat risiko ultra vires atau tindakan di luar kewenangan formal (Ridwan HR, 2020).

Mens rea, diskresi, dan good governance dalam tata kelola haji

Prinsip good governance (transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum, efektivitas, dan partisipasi) merupakan standar global tata kelola haji (World Bank, 2017).

Diskresi yang selaras dengan prinsip ini dapat mempercepat pelayanan publik, tetapi diskresi yang melanggar hukum dan mengandung niat menyimpang dapat merusak kepercayaan publik (Rosenbloom et al., 2015).

Apa kaitannya dengan mens rea? Secara sederhana kaitan antara “diskresi” dan “mens rea” dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut:

  • Diskresi tanpa mens rea jahat: Diskresi menteri untuk mengubah pembagian kuota bisa dibenarkan secara moral jika untuk kepentingan jamaah dan sesuai prosedur.
  • Diskresi dengan mens rea jahat: Diskresi menjadi alat penyalahgunaan wewenang jika ada niat untuk menguntungkan pihak tertentu atau mengabaikan hukum dengan sadar.

Pengabaian prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dapat menjadi indikasi adanya mens rea dalam bentuk willful disregard terhadap hukum (Hall, 2015).

Pelajaran untuk penegak hukum dan publik

Kasus ini mengajarkan bahwa penegakan hukum terhadap pejabat publik memerlukan analisis tiga lapis:

  1. Unsur formil (actus reus): Apakah ada pelanggaran hukum tertulis?
  2. Unsur materiil (mens rea): Apakah ada niat jahat di balik keputusan?
  3. Kepatuhan prosedural diskresi: Apakah diskresi dijalankan sesuai hierarki dan prosedur peraturan perundang-undangan?

Bagi publik, pemahaman ini mencegah reaksi emosional yang berlebihan, namun juga menghindarkan sikap permisif terhadap penyalahgunaan wewenang.

Hukum harus menjadi alat keadilan bukan alat kekuasaan

Kasus kuota tambahan haji 2024 menjadi pelajaran penting bahwa keadilan tidak hanya ditentukan oleh apa yang dilakukan pemerintah, tetapi juga mengapa dan bagaimana itu dilakukan. Di sinilah mens rea, diskresi, dan good governance bertemu dalam satu titik, yaitu untuk: menjaga hukum tetap menjadi alat keadilan, bukan menjadi alat kekuasaan.

Semoga penanganan kasus kuota tambahan haji 2024 ini disemangati semata untuk penegakan keadilan, membangun kepercayaan publik pada tata kelola penyelenggaraan haji, dan mengambil pelajaran berharga dalam transformasi tata kelola haji yang kini sedang dilakukan pemerintah.

Kasus ini harusnya menjadi pintu masuk bagi pemerintah dan DPR untuk mempertegas ketentuan kuota haji khusus dalam RUU Perubahan UU No.8 tahun 2019 dengan kalimat “Minimal 8%” dengan tambahan klausul, untuk memastikan bahwa diskresi Menteri terkait hal ini di kemudian hari, jika ada, tidak menimbulkan kegaduhan yang berpotensi mengguncang kepercayaan ummat.

Hal ini, karena tambahan porsi seperti itu sangat dimungkinkan terjadi lagi di masa depan dalam durasi waktu yang mungkin terlalu singkat untuk persiapan administrasi dan antisipasi pelaksanaan di lapangan.

Ulul Albab
Akademisi Ilmu Administrasi Publik
Ketua ICMI Jawa Timur

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.