Suaramuslim.net – Ada seorang kakek yang sudah tua renta menanam sebuah pohon kurma. Kebetulan pada saat itu seorang raja lewat dan melihat kakek yang sedang menanam tersebut. Dengan rasa penasaran sang raja bertanya kepada si kakek tentang alasan atau motivasi menanam pohon tersebut.
Sang raja bertanya seperti itu karena semua orang sudah tahu bahwa pohon kurma tidak akan berbuah kecuali setelah beberapa tahun sehingga mana mungkin kakek itu menanam pohon kurma untuk dipetik oleh dirinya sendiri.
Ternyata benar, ketika ditanya si kakek menjawab dengan bijak, “Dulu orang-orang sebelum kita menanam pohon kurma sehingga buahnya dapat kita nikmati sekarang, apakah tidak ada keinginan dalam diri kita untuk mengikuti jejak mereka dengan menanam pohon kurma saat ini supaya generasi setelah kita dapat menikmati buah kurma dari pohon yang kita tanam?”
Apakah yang menarik dari kisah di atas? Kakek tersebut menanam pohon kurma bukan untuk dirinya. Dia menyiapkan untuk generasi setelahnya. Buah dari pohon tersebut bisa dimakan oleh anak cucunya. Atau orang lain jauh setelahnya.
Betapa banyak suatu masyarakat dengan keunggulannya kemudian tenggelam setelah tidak ada yang meneruskan. Orang tua atau yang dianggap sesepuh tidak melakukan pendidikan kepada anak-anak atau cucu-cucunya. Tidak menanam generasi (anak cucu) setelahnya dengan bekal cukup. Diumpamakan menanam pohon kurma di atas. Yang disiram dipupuk dan selalu diperhatikan jika ada hama dan penyakit.
Saat ditinggal sewaktu-waktu tidak ada khawatir, punah. Nilai-nilai yang telah ditanam, awet. Apalagi jika nilai tersebut mengandung kemaslahatan bagi masyarakat atau negeri.
Menanamkan hal ini harus sejak dini dilakukan. Supaya tertanam dengan baik. Dan manusia paling mulia telah melakukan ini. Bahkan untuk menyiapkan kader atau generasi penerus diberikan amanah jabatan yang mungkin bagi sebagian orang dianggap terlalu tinggi bagi umur dan kesiapannya.
Jika menengok kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu perhatian kepada remaja dan anak-anak di kalangan sahabat. Dalam beberapa kesempatan beliau menempatkan sahabat yang masih muda belia untuk mengisi posisi yang strategis.
Usamah bin Zaid diangkat oleh nabi sebagai pemimpin pasukan kaum muslimin untuk menyerbu wilayah Syam yang saat itu merupakan wilayah Romawi. Usamah ketika memimpin berusia 18 tahun. Dan di dalam pasukan itu ada Abu Bakar, Umar dan senior sahabat yang lainnya.
Jika kembali ke era sekarang, umur 18 tahun masa remaja menjelang dewasa. Bermain dan cenderung hura-hura menjadi ciri khas. Meski tidak bisa disama-ratakan. Karena ada beberapa pemuda dengan umur yang sama sudah berpikir sangat maju. Berkelas pemimpin. Di berbagai bidang.
Imam Asy Syafii menjadi mufti dalam umur sebelum dirinya baligh. Muhammad Al Fatih yang mampu memimpin kekhalifahan Utsmaniyah di umur 17 tahun. Dan di umur itu juga mampu menaklukkan konstantinopel. Jenderal Soedirman dalam umur belasan tahun sudah memimpin pertempuran untuk melawan penjajah.
Mereka yang berada di puncak dalam umur belasan ini memang sejak awal sudah “diprogram”. Dipersiapkan sebagai pemimpin masa depan. Dan memang ada bibit pemimpin yang diketahui oleh orang yang peduli dengannya. Lingkungan sekitar baik dari keluarga sampai masyarakatnya ikut menjaga anak tersebut. Jika tidak, maka diketahui kepemimpinan seorang anak biasa terlambat. Muncul setelah di umur tiga puluhan.
Sebagaimana contoh Usamah bin Zaid ketika memimpin perang sebagai panglima, mereka (para sahabat senior) sadar jika apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menyiapkan pemimpin di masa datang. Menjamin ada penerus dalam kepemimpinan umat di masa datang.