Suaramuslim.net – Mengingat kembali tentang pidato Soekarno tentang esensi Pancasila. Dalam orasinya, Pancasila itu kalau diperas-peras lagi akan menjadi Trisila dan kalau diperas lagi akan menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Lalu apa itu yang dimaksud dengan gotong royong?
Gotong royong merupakan suatu wujud kerja bersama-sama. Dalam gotong royong ada kerelaan satu sama lain untuk saling memikul beban yang ada. Dalam gotong royong pula ada perasaan saling membutuhkan satu sama lain, dan dalam gotong royong itu pula ada kerelaan untuk berkorban dalam menggapai tujuan.
Sehingga dalam gotong royong setiap orang yang terlibat wajib mempunyai kemampuan mempercayai orang lain serta menghormatinya. Disana ada gerak bersama, saling merasa, sehingga tak mudah untuk melakukan sesuatu yang menjadi kepentingan sendiri, ada komando yang selalu didengar dan ditaati, tak mudah khianat dan melepas dari kelompok gotong royong itu.
Gotong royong merupakan watak asli bangsa Indonesia. Sampai sampai watak kerjasama dalam membangun kebangkitan ekonomi kerakyatan Bung Hatta dalam wajah koperasinya disebut dengan cara gotong royong. Sehingga gotong royong merupakan ruh ke Indonesiaan kita.
Sebagai bagian dari warga bangsa tentu semua kita merasakan kondisi kejiwaan bangsa sekarang ini. Terasa sekali perasaan warga terbelah, semua merasa paling Indonesia dan paling Pancasila. Kalimat serapah dan melemahkan “musuhnya” tak kering dari kerongkongan para pemuja.
Akal sehatpun tak lagi bisa bicara, nalar intelektual terjual, sehingga tak ada lagi panutan bagi tersemainya rasa gotong royong. Kebersamaan hanya dimaknai bersama dalam kepentingan, bersama dalam merampas hak orang dan bersama dalam merampok hak kuasa atas pengelolaan. Gotong royong hanya menjadi kalimat pemanis atas keserakahan. Pancasilapun lemah tak berdaya ditangan mereka yang merasakan diri paling Indonesia.
Rasanya kita mesti harus merangkai kembali tentang gagasan meraih kegotong royongan. Ketika politik tak mampu lagi merekatkan, maka Pendidikan merupakan jalan inovatif merangkai kembali perasaan dan gagasan itu.
Apa yang bisa dilakukan oleh pendidikan?
Pendidikan harus dimaknai sebagai proses perubahan perilaku, dalam membentuk perubahan perilaku tak cukup perilakunya yang hanya berubah, tetapi juga membutuhkan ruang untuk berlatih melaksanakan perubahannya. Sekolah sebagai miniatur kecil lingkungan Indonesia selayaknya mampu menjadi ruang latihan bagi anak-anak untuk menyemai jiwa kegotong royongannya.
Disekolah anak-anak dilatih menjadi bagian dari anak-anak yang lainnya dalam mencipta suasana yang nyaman dan saling merasakan. Ketika saya masih sekolah ditingkat dasar, betapa para guru mampu menjadi tukang asahnya, kalau ada siswa lain yang sakit, guru mengajak kita berbagi dan menyisihkan uang jajan kita, untuk disumbangkan kepada kawan yang sakit. Kalau ada keluarga kawan yang mengalami kesusahan, para guru itulah yang memotivasi kita untuk saling membantu meringankan, pendeknya, sekolah sejatinya pernah menjadi ruang berlatih bagi melatih jiwa gotong royong kita sebagai anak didik.
Sejatinya dari pendidikan di sekolah, kita berharap bisa menemukan kembali wajah Indonesia kita dalam bentuk kegotong royongan. Wajah yang jujur yang saling menghormati dan saling menghargai tanpa ada saling curiga.
Merayakan kembali menjadi Indonesia merupakan gagasan menyemai kembali rasa ke Indonesiaan kita. Nah upaya yang bisa kita lakukan untuk meraihnya adalah dengan jalan mengasah kembali kepekaan rasa ke indonesiaan kita, kita hilangkan rasa paling Indonesia dan paling berjasa, karena kecongkaan rasa justru akan semakin menegaskan kita bukan Indonesia.
Merayakan kembali menjadi Indonesia itu kita merasakan kembali tidak ada lagi perasaan aku dan kamu, yang ada adalah kita. Kita Indonesia. Nah sekolah adalah ruang nyata merayakan kembali rasa ke Indonesiaan, ketika ruang Indonesia masih diisi oleh mereka yang gemar merasa paling Indonesia. Rasanya gagasan kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen sudah saatnya lagi didorong menjadi semangat kita merayakan menjadi Indonesia kembali.
*Ditulis di Surabaya, 26 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net