Oleh: Yusuf Maulana (penulis buku “Mufakat Firasat”)
Seberapa bermakna sebuah simbol difanatisi? Apalah simbol sekadar ekspresi kosong yang tidak berfaedah?
Hanya karena takzim pada presiden negeri lain, sapaan dua pesepakbola asal Jerman yang menghadiahkan kaos kesebelasan masing-masing pada Recep Teyyip Erdogan, berujung cercaan. Nasionalisme pesepakbola Jerman berdarah Turki itu pun digugat; ke mana mereka sebenarnya menyemayamkan kebanggaan?
Kasus ucapan takzim “Tuan Presiden” kepada Erdogan ternyata menghadirkan makna simbolis yang kuat sekaligus menohok bagi warga Jerman. Dan ini tidak sesederhana soal nasionalisme di lapangan rumput ataupun medan politik hari ini. Ada hal sublim yang tersulut gara-gara “kekaguman” warga negara pada penguasa negara lain yang kebetulan seetnis. Etnis tak semata kebetulan faktor yang sama hingga dipandang berbahaya. Etnis disebalik itu adalah ancaman hari ini dan esok, yang ini terhubung dengan ingatan masa silam.
Karena itu, simbol sebenarnya tak benar-benar mati, sekalipun di kalangan posmodernisme dan kaum pluralis. Ia malah aktual sekalipun awalnya untuk mempermain-mainkan simbol. Dalam konteks politik, kehadiran simbol justru aktualisasinya bisa semakin liar. Simbol yang kemarin dipersoalkan, hari ini bisa saja direngkuh dan dijadikan komoditas. Simbol yang hendak dilenyapkan tidak benar-benar diperlakukan demikian; yang ada malah bermain-main dengan simbol. Kasus simbol agama di ranah politik kita hari ini mengonfirmasi amatan ini.
Islamismeawalnya jadi momok yang menakutkan bagi kekuasaan. Islamisme berhasil menjadi kawan karib oposisi pada kekuasaan. Dus, kekuasaan pun menaruh curiga pada pembangkitan simbol oleh islamisme. Diktum politisasi agama jadi kampanye menyerang pihak oposisi hanya karena mereka berada di pihak pengusung simbol-simbol tersebut.
Halserupa rupanya berlaku manakala yang memainkan simbol-simbol itu pemangku kekuasaan. Kekuasaan tampak ringkih dan gagap kala berhadapan dengan islamisme. Simbol menyerang sedemikian ekstensif hingga strategi untuk menangkalnya pun cenderung kasar dan tak beradab. Persekusi, pelabelan, hingga stigmatisasi di media terus-menerus dilakukan tanpa henti. Ternyata hasilnya tidak manjur. Penguatan simbol umat untuk melawan masih kuat.
Kekuasaanpun menoleh pada aras baru. Kekuasaan mengambil simbol agama yang awalnya disengiti. Simbol-simbol dipakai bahkan dalam kadar tertentu melampaui kewajaran yang dipraktikkan kalangan islamis. Sayangnya, pemakaian simbol-simbol yang menyerupai re-islamisme itu di saat yang sama ditemani pula dengan taktik kekuasaan menindak keras islamis, dengan mengatasnamakan radikalisme dan kontra-terorisme. Di sinilah kontradiksi kekuasaan memberlakukan Islam. Alih-alih mencari titik imbang mendekati Islam, kekuasaan justru menempatkan Islam sebagai instrumen yang seolah bisa diperlakukan sesuka hati dan kehendak perancang skenario di jantung kekuasaan. Kala waktu disikat tanpa ampun, saat yang lain dipeluk erat.
Lantasbagaimana kalangan islamis bersikap dengan kekuasaan berwajah ganda tersebut?
Di sinilah kecerdasan intelektual umat memainkan politik. Tidak satu wajah untuk melawan tindakan kekuasaan. Wajah islamisme semestinya tak lagi monolitik sehingga mudah terbaca dan terdikte penguasa. Islamisme mestinya menukik sampai ke ulu hati masyarakat. Simbol semata tak lagi relevan ketika kekuasaan begitu peka memandang radikalisme hanya dari ekspresi-ekspresi dangkal keberagamaan pada hal lahiriah (cadar, celana cingkrang, janggut, misalnya). Stigmatisasi kekuasaan yang merangkul eksponen umat yang kurang bergairah dalam isu perjuangan umat juga sering berujung pada eksklusi dengan dalil irasional. Ada ormas begitu gencar pada artikulasi keislaman sesama saudara seimannya yang beda kelompok, lantas meletakkan predikat “musuh negara” dengan semena-mena.
Di sisi lain, wajah islamis kekuasaan yang mendadak juga menggelikan. Menjual ayat dan hadits justru tanpa malu diperbuat kekuasaan. Simbol dan bahasa keagamaan ditebarkan di mana-mana. Alih-alih kontestasi, perjuangan merebut wajah islamis oleh kekuasaan ini tak perlu dilawan dengan “pengerasan” pada islamisme. Malah yang perlu dipertimbangkan adalah membawa penanggalan simbol, dan menyentuh dalam kemaslahatan umat dan masyarakat secara konkret. Pos-islamisme tak semata pembuangan simbol dan isu formalisme berislam, yang lebih penting adalah bagaimana mencerdaskan diri menghadirkan Islam yang berintegritas dan berkepedulian.
Perhatikan hari ini tatkala kekuasaan mendekat pada simbol agama. Kita mungkin pikir kekuasaan berminat pada pengabaian simbol, atau tengah menjalankan proyeksi pos-islamisme. Ketika itu, kekuasaan menjadikan maqashid syariah jadi acuan berpolitik. Akrobat politik yang diperbuat terkesan oportunis sekalipun ingin ditarik sebagai politik keumatan secara altruis. Berpindah partai demi politik umat. Di mana saja dengan atribut agama dan militansi menyokong syariat Islam. Semuanya untuk khidmat pada umat.
Tapi bagaimana yang terjadi sebenarnya? Musim semi membelakangkan simbol rupanya usai. Yang ada malah musim mengarah pada re-islamisme; Islam dimanfaatkan sebagai simbol berpolitik. Bukan lagi maqashid syariah jadi acuan. Agama dipetik simbolnya untuk politik. Diksi yang dikhotbahkan di publik juga dengan jargon agama. Di sinilah re-islamisme oleh kekuasaan patut disangka bukan sebagai ketulusan.
Di pihak lain, ketika kekuasaan “mencuri” isu dan agenda islamisme, para islamis patut menimbang penanggalan militansi pengedepanan simbol agama ketika sadar sebagai oposisi. Kuasa rezim memagut agama harus dilawan dengan pengembalian agama ke spirit sesuai maksud syariah hadir. Dan pos-islamisme adalah mediator memoderasi kecurigaan laten pada agama yang kini, ironinya, dipraktikkan lamat-lamat oleh pemangku kekuasaan.
Kontestasi beragama dengan kekuasaan tak memadai dengan saling klaim. Apalagi pihak pemangku kekuasaan unggul dari kepemilikan opini dan sumber daya lainnya. Justru ketika tidak kredibel memegang simbol, opini yang dikembangkan menjadi anarkis. Islamisme yang dihadirkan malah rentan reduktif bahkan distortif. Manipulasi tak bisa lagi dihindarkan. Melawan pengoar-ngoar islamisme palsu ini seyogianya perlu dengan cara santun dan non-simbolis. Justru ketika pengoar palsu dan sesat oleh kekuasaan, melawan dengan simbol-simbol agama hanya bakal hadirkan kejenuhan dan kemuakan publik. Trauma pada simbol-simbol pun bisa menebar ke mana-mana. Di sinilah relevansi menghadirkan pos-islamisme yang lebih ramah bukan pada simbol-simbol yang memang kadung direbut dan dimonopoli kekuasaan ketika itu. []
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net