Jangan rindu
Berat, kalian tidak akan mampu
Biar aku saja yang rindu
Saya mengilustrasikan mungkin begitulah perasaan Nabi Muhammad ketika berhadapan dengan umatnya di akhir zaman. Betapa sebelum meninggal dunia, kalimat terakhir yang masih terucap adalah ummatii, ummatii. Nabi sangat khawatir dengan kondisi umatnya sepeninggalnya.
Dalam kesempatan lain, Imam Bukhari Muslim meriwayatkan cerita dari sahabat Abu Hurairah bagaimana rindunya Nabi ingin bertemu dengan saudara-saudaranya. Abu Hurairah pun bertanya, “Bukankah kami ini saudaramu wahai Rasul?” Nabi menjawab, “Kalian adalah sahabatku, saudaraku adalah umatku yang akan datang nanti setelahku”.
Kita sebagai umat akhir jaman adalah generasi yang dirindukan Nabi. Bagaimana dengan rindu kita pada sang Nabi?
Jarum jam berputar, siang berganti malam, tidak terasa ini adalah hari kelima berada di kota Madinah dan artinya kami akan meninggalkan kota ini menuju kota Mekkah untuk melaksanakan rangkaian umrah.
Waktu-waktu akhir menjelang berpisah dengan Madinah membuat ibadah terasa lebih syahdu. Semangat semakin meningkat dan hati semakin bergemuruh. Akankah semua ibadah diterima Allah dan Rasulullah mengakui sebagai umatnya?
Konon Imam Malik pun tidak mau keluar dari kota ini karena cintanya pada Madinah, dia belajar dan mengajar di Madinah, sampai diberi julukan Imam Darul Hijrah (imamnya negeri tempat hijrah Nabi).
Ya, Madinah yang menjadi mulia dan dicintai seluruh umat Islam di dunia sampai akhir masa, karena ia dicintai oleh rasul mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Getaran yang sangat terasa di Masjid Nabawi adalah gerakan pusaran memburu kematian.
Kematian itu terefleksikan begitu masuk ke masjid. Setiap selesai shalat fardhu ada shalat jenazah, berziarah ke pemakaman Baqi’, dilanjut dengan menziarahi pemakaman syuhada Uhud, sampai yang paling dinanti bisa menziarahi makam sang Nabi dan bertirakat di Raudhah, taman surga yang ada di dunia.
Lantunan dzikir, tilawah Qur’an, majelis taklim, shalat sunnah dan yang lainnya dilakukan sebagai bekal untuk menuju kematian. Mengingat mati, pada hakikatnya mempersiapkan amal terbaik untuk bekal di akhirat.
Begitulah firman Allah dalam surah Al-Mulk ayat 2 yang artinya “(Allah) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”.
Memburu kematian seyogyanya tidak membuat mukmin abai akan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Justru harusnya memicu lebih produktif dan bekerja dengan profesional, melejitkan etos kerja, karena Allah akan menilai mana kerja yang terbaik dan yang asal-asalan.
Mengingat mati akan membuat pemimpin melayani rakyatnya dengan cara terbaik. Begitu pula rakyat akan memilih pemimpin terbaik karena ia sadar, pilihannya akan dipertanggungjawabkan setelah kematian.
Berislam dengan cara terbaik, bekerja untuk hasil terbaik, berderma yang paling baik dan menjadi warga negara yang baik sehingga menghasilkan pemimpin dari pilihan terbaik. Itulah energi dari ingat mati, oleh-oleh dari memburu kematian di Masjid Nabawi yang harus dibawa para jamaah kembali ke negeri masing-masing.
Bukankah Rasul pernah berpesan, sebagaimana diabadikan Imam Ahmad dalam kitab hadisnya, “Seandainya kiamat akan terjadi dan di tangan seorang dari kalian ada bibit kurma, jika dia mampu menanam, tanamlah bibit itu sebelum terjadi kiamat”.
Semoga kita menjadi mukmin produktif yang selalu mempersembahkan hal-hal terbaik, agar bisa menjadi umat yang merindukan Nabi dan dirindukan Nabi. Sehingga lirik legendaris dari grup Bimbo ini tidak hanya dilantunkan, tapi diyakini dan dilaksanakan.
Rindu kami padamu ya rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu ya rasul
Serasa dikau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
* Ditulis pada hari Selasa 11 Jumadil Akhir 1439 H – 27 Februari 2018
* Di Al-Masjid An-Nabawi Kota Al-Madinah Al-Munawwarah