Suaramuslim.net – Di tengah kegaduhan ekonomi hari ini (harga-harga naik, gaya hidup yang melonjak, dan godaan konsumsi yang tak pernah tidur), Al-Qur’an justru menawarkan satu konsep keuangan yang sangat tenang, sederhana, tetapi luar biasa dalam dampaknya, yaitu: moderasi finansial.
Konsep ini secara eksplisit disebut dalam karakter ‘Ibadur-Rahman, hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, tetapi berada di tengah-tengah antara keduanya.” (Terjemah Q.S. Al-Furqan [25]: 67).
Ayat ini pendek. Namun jika dikaji secara mendalam, ia memuat satu falsafah keuangan modern yang sangat lengkap.
Jalan tengah yang rasional
Dalam ilmu keuangan modern, prinsip “tidak boros dan tidak kikir” sejalan dengan apa yang disebut financial prudence. Kebijakan keuangan yang rasional, terukur, dan berkelanjutan. Seorang individu tidak diharapkan menghamburkan uang demi gaya hidup semu, tetapi juga tidak dianjurkan menimbun harta tanpa fungsi sosial.
Moderasi finansial menuntut keseimbangan antara konsumsi, tabungan, dan kontribusi sosial. Inilah inti dari sustainable personal finance yang banyak diajarkan dalam literatur ekonomi kontemporer. Menariknya, Al-Qur’an telah mengajarkannya 14 abad lalu.
Bukan soal jumlah, tapi pola
Moderasi finansial bukan berarti hidup miskin atau anti-kemajuan. Ia bukan soal berapa besar penghasilan, melainkan bagaimana pola pengelolaannya. Dalam ilmu keuangan perilaku (behavioral finance), banyak krisis personal bukan disebabkan oleh pendapatan yang kecil, tetapi oleh keputusan keuangan yang impulsif dan emosional.
Q.S. Al-Furqan ayat 67 menuntun manusia agar tidak dikendalikan oleh hawa nafsu konsumtif, tetapi oleh kesadaran nilai. Inilah yang dalam psikologi keuangan disebut delayed gratification, kemampuan menunda kesenangan demi tujuan jangka panjang.
‘Ibadur-Rahman adalah mereka yang mampu berkata “cukup” di tengah peluang untuk berlebih-lebihan.
Transparansi dan akuntabilitas
Dalam konteks sosial dan kelembagaan, moderasi finansial berkait erat dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Keuangan yang sehat bukan hanya rapi secara administratif, tetapi juga bersih secara moral.
Al-Qur’an tidak memisahkan spiritualitas dari pengelolaan harta. Justru, kualitas ibadah seseorang tercermin dari cara ia menggunakan rezeki. Inilah mengapa moderasi finansial menjadi fondasi penting bagi organisasi sosial, lembaga keagamaan, bahkan institusi publik.
Pengelolaan dana yang boros merusak kepercayaan. Pengelolaan yang kikir mematikan gerakan. Jalan tengahlah yang menghidupkan peradaban.
Menangkal dua ekstrem zaman
Hari ini kita menyaksikan dua ekstrem keuangan yang sama-sama berbahaya. Di satu sisi, budaya flexing, konsumsi simbolik, dan utang berbasis gengsi. Di sisi lain, ketakutan berlebihan untuk berbagi, menolong, atau berinvestasi pada kemaslahatan.
Konsep ‘Ibadur-Rahman berdiri di tengah. Ia menolak pemborosan, tetapi juga mengkritik penimbunan. Ia mengajarkan bahwa harta bukan tujuan, melainkan amanah.
Dalam terminologi ekonomi Islam, ini sejalan dengan prinsip maqashid al-shariah, yaitu menjaga harta agar berfungsi melindungi jiwa, akal, keluarga, dan martabat manusia.
Dari individu ke bangsa
Jika moderasi finansial ini menjadi karakter individu, ia akan melahirkan keluarga yang stabil. Jika menjadi budaya organisasi, ia melahirkan institusi yang dipercaya. Jika menjadi etos bangsa, ia melahirkan ekonomi yang tahan krisis.
Banyak negara runtuh bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena kegagalan mengelola kelimpahan. Dan banyak individu jatuh bukan karena miskin, tetapi karena tidak bijak.
‘Ibadur-Rahman mengajarkan bahwa keberkahan tidak lahir dari angka besar, tetapi dari keseimbangan yang dijaga.
Keuangan yang menenangkan jiwa
Moderasi finansial adalah jalan spiritual. Orang yang moderat secara finansial hidup lebih tenang, tidak dikejar utang, tidak diperbudak gengsi, dan tidak dibelenggu ketakutan kehilangan.
Mungkin inilah yang ingin ditegaskan Al-Qur’an: bahwa hamba yang paling dekat dengan Allah bukanlah yang paling kaya, tetapi yang paling bijak mengelola apa yang dimilikinya.
Dan di zaman yang gaduh ini, barangkali dunia tidak kekurangan uang, tetapi kekurangan kebijaksanaan.
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

