Suaramuslim.net – Dalam kehidupan sehari-hari pasti banyak interaksi yang kita lakukan dengan sekitar. Dan kita membutuhkan berpikir, berkata, juga merasa sesuatu yang berkaitan dengan interaksi. Ada aksi kita bereaksi. Ada sikap dan ucap yang terlontar kita memberikan respons.
Reaktif biasanya terburu-buru tanpa banyak pemikiran, penuh ketegangan dan cenderung agresif. Lalu responsif biasanya dipikirkan terlebih dahulu, tenang dan tidak menakutkan.
Sesuatu yang reaktif biasanya memicu lebih banyak tindakan reaktif lain. Respons biasanya bersifat adaptif, ia memicu diskusi yang sehat dan mengarah pada solusi.
Nah, biasanya orang reaktif itu tidak terlalu berpikir panjang. Dia tidak memikirkan apa efeknya nanti setelah melakukan suatu hal.
Ada sebuah kisah, ada seseorang yang membaca pesan elektronik yang berisi teguran dari atasannya karena dia melakukan kesalahan membuat laporan. Akhirnya seseorang ini sedih, air matanya bercucuran, dan dia berbicara kepada dirinya sendiri, “Aku memang bodoh.”
Hari itu juga ia memutuskan untuk menghindar bertemu dengan manajernya dan teguran itu membuat dirinya murung seharian di kantor dan kehilangan semangat kerja. Esok harinya ia bekerja dengan semangat yang pas-pasan.
Kisah yang kedua, ada seseorang yang mendapat teguran dari atasannya juga. Sama seperti kisah di sebelumnya. Tetapi seseorang ini lebih santai dalam menghadapi masalah. Dia lantas mengecek kembali laporannya dan berkata terhadap dirinya sendiri “Saya harus memperbaiki kesalahan ini.” Kemudian menuju ke ruangan manajer dan berkata “Saya mohon maaf atas keteledoran saya ya pak. Bagaimana jika saya perbaiki laporan ini?”
Akhirnya manajernya pun mengiyakan dan tersenyum sambil berkata “oke, kamu perbaiki ya laporannya.” Dan dia pun lega karena mendapat kesempatan dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya.
Jadi di sini ada dua kisah yang bisa kita ambil pelajarannya. Yang pertama, ia cenderung menyalahkan diri sendiri, sedangkan yang kedua mengambil hikmah dari kesalahan itu kemudian memperbaiki kesalahannya dan menjadi lebih baik.
Ini kalau dihubungkan dengan responsif atau reaktif, menurut saya yang pertama cenderung ke reaktif. Dia tidak cukup menggunakan daya nalarnya, akhirnya galau dan menjadi impulsif. Dia lebih mendahulukan emosinya, sehingga yang kelihatan kesedihan mendalam, tidak mudah bangkit dari suatu peristiwa yang akhirnya membuat ia terpuruk.
Sedangkan kisah yang kedua lebih kepada responsif. Karena ia tidak mudah menghakimi dirinya sendiri. Jadi jeda waktu untuk berpikir dan memahami telah dilakukan oleh kisah yang kedua.
Sebenarnya kita sebagai manusia mempunyai kesempatan dan tidak masalah untuk sedikit reaktif dan juga memperbanyak responsif. Reaktif memang tetap dibutuhkan saat-saat genting.
Kalau kita sudah banyak memiliki ilmu pengetahuan dan referensi pertemanan dengan baik, sikap reaktif akan terlihat sebagai responsif. Karena orang reaktif tidak mempunyai alasan kuat, tidak rasional, tetapi kalau ibadah kita bagus, teman-teman yang saleh-salehah, insyaallah reaktif pun bisa menjadi responsif.
Mari kita ingat, semua yang kita pilih dalam hidup selalu memiliki dampak terhadap diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Dan di antara dampak-dampak itu yang paling tinggi adalah pertanggung jawaban kita kepada Allah. Hidup ini pemberian Allah, kembali pun juga kepada Allah, maka mari kita pilih jalan Allah.
Artikel ini dikutip dari siaran Mozaik Radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm pada hari Jumat, 21 Februari 2020 pukul 13.00-14.00 bersama Ustadzah Hamdiyaturrahmah, Praktisi Pendidikan dan Parenting Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya.