Negara Tunduk di Kaki Korporasi Global

Negara Tunduk di Kaki Korporasi Global

Negara Tunduk di Kaki Korporasi Global
Foto: wiley.com

Judul Buku: The Political Power of Global Corporations
Penulis : John Mikler
Penerbit : Polity Press, UK
Tebal : xvi + 198 halaman
Cetakan : Pertama, 2018

Suaramuslim.net – Kuasa korporasi global sulit dibendung. Persoalan kini bukan pada pasar, melainkan aktor pasar. Aturan pasar ditentukan aktor. Negara yang dibatasi yurisdiksi tak kuasa menghadapi kedigjayaan korporasi global. Dialah aktor pasar saat ini.

Semula, yang disebar adalah pertarungan kebebasan individu lawan negara otoritarian. Regulasi negara dianggap wujud perilaku otoritarian, yang menentang kemerdekaan pribadi. Setelah digempur berkali-kali melalui alasan ini, negara pun pasrah. Kebebasan individual menang, negara terjengkang.

Ironinya, prinsip kebebasan individual sesungguhnya kuda troya kaum pedagang dan pebisnis multinasional. Adam Smith provokator kebebasan individual ini. Melalui istilah ‘invisible hand’ mendukung supremasi pasar, Smith juga menyerang tangan negara yang tampak jelas.

Ditegaskan Smith, tangan tak tampak merupakan kode bagi pebisnis untuk memaksimalisasi kepentingannya. Negara tak boleh membatasi tangan ini sebab ‘tangan’ kaum pebisnis berkait pada kebebasan individu. Sekali negara mengatur pebisnis, saat itu pula kebebasan individu terancam bahkan raib.

Penulis buku ini, John Mikler, adalah guru besar ilmu pemerintahan dan hubungan internasional Universitas Sydney, Australia. Ia menegaskan dua tujuan penulisan buku. Pertama, bertujuan untuk membedah korporasi global sebagai aktor politik yang mempunyai identitas serta strategi kompleks. Kedua, meninjau kembali korporasi global sebagai aktor politik yang diproduksi oleh negara asal mereka.

Diakui Mikler, kedua tujuan ini tidaklah mudah untuk ditelusuri, namun hasil penelusuran terhadap identitas korporasi global itu penting bagi publik agar lebih mudah dalam pemetaan ekonomi dunia.

Korporasi global biasanya akrab disebut korporasi multinasional. Penyebutan ini berkait pada kegiatan investasi mereka, produksi serta penjualan produk dan layanan mereka yang bersifat lebih dari satu wilayah yurisdiksi. Batasan yurisdiksi ini telah membuat negara tidak bisa melakukan ekspansi, yang sebaliknya justru dilakukan perusahaan multinasional.

Beberapa tahun silam, Kenichi Ohmae menyebut kegiatan korporasi lintas negara ini telah memunculkan fenomena ‘dunia tanpa batas’ (the borderless world). Transaksi perdagangan tidak lagi terbatas dalam satu negara, tapi sudah keluar masuk negara. Produk barang dan jasa tidak lagi dominan di suatu negara, melainkan sudah bisa dilakukan di negara mana saja.

Manakala sebuah negara dianggap tidak ramah pada korporasi, maka korporasi pun angkat kaki dari negara tersebut. Investasi pun melayang, berpindah negara. Yang tersisa di negara itu hanyalah para pekerja yang menganggur, lalu bisa timbul masalah sosial yang serius.

Jangan tanya soal kesetiaan korporasi pada negara. Tidak ada kesetiaan itu. Satu-satunya kesetiaan yang dibangun korporasi global adalah pada prinsip kebebasan individual. Kedaulatan negara dibuat lemah dihadapan tuntutan kebebasan tersebut. Negara hanya jadi aktor pasif, memfasilitasi aneka keinginan korporasi global. Para elit negara yang terpesona pada lalu-lintas investasi tak lagi berpikir jernih soal kesejahteraan, apalagi pemerataan.

Bagi mereka, investasi korporasi global merupakan jaminan terserapnya tenaga kerja domestik. Namun, persyaratan keterampilan yang diajukan korporasi global sering membuat elit-elit negara tak bisa mencegah masuknya tenaga kerja impor. Itulah salah-satu pertanda akhir batas geografi, dan mulai ditariknya kepentingan ke tingkat pasar global.

Urusan tenaga kerja domestik tak terampil menjadi bukan lagi urusan korporasi. Tenaga tuna terampil dianggap beban korporasi pada iklim kompetitif. Sehingga tenaga kerja impor yang lebih terampil menjadi pilihan korporasi. Negara tak berkutik menghadapi soal ini. Ketakutan negara dicap sebagai negara tak ramah korporasi plus investasi. Ketidakbecusan aktor-aktor negara mengurus soal-soal perekonomian lantaran merebaknya korupsi serta kolusi menjadikan posisi negara kian terpojok.

Nasib negara berada di luar batas-batas wilayah geografis, yang tak lain sangat bergantung pada keikutsertaan korporasi global. Modal dan investasi menjadi sarana paling ampuh dibanding persenjataan ketika antar negara berinteraksi. Penaklukan bukan lagi bergantung pada SDM militer atau kecanggihan persenjataan, tapi lebih bertumpu pada kekuatan modal serta investasi.

Ditulis dalam enam bab, terasa sekali kekuatan isi buku ini. Diawali dengan tajuk pengambialihan fungsi negara oleh korporasi global, lalu Mikler menteorisasi kekuatan korporasi global ini. Pengambilalihan posisi negara dimulai dari seruan menghargai kebebasan individu. Seruan ini jelas berdimensi politik. Urusan bisnis menjadi bukan semata urusan ekonomi, tapi sudah masuk kedalam cara berpikir politis berujung kebijakan. Pengaturan serta regulasi di bidang ekonomi dan bisnis dicurigai sebagai intervensi negara ke dalam masalah individu.

Kecurigaan ini terus bersemayam dalam korporasi. Dengan cerdik, Mikler menerjemahkan ujaran Milton Friedman bahwa urusan bisnis adalah bisnis, menjadi urusan bisnis adalah pemerintah. Pengaruh korporasi global lalu menjadi kian gencar ke dalam konstruksi berpikir serta struktur mentalitas aktor-aktor negara. Maka, negara-negara pun beroperasi atas dasar kepentingan korporasi. Termasuk dalam siklus periode politik dalam negeri. Kemauan korporasi selalu tertanam dalam benak dan sanubari para politisi meski legitimasi politik dari rakyat. Namun, legitimasi itu hanya sesaat saja. Usai pesta demokrasi, selanjutnya aktor negara atau politisi tenggelam mewujudkan keinginan korporasi.

Tampak dari luar, korporasi melayani negara, tapi jika ditelisik lebih dalam, justru negara mewujudkan keinginan korporasi. Dalam kaitan ini, Mikler menyinggung ihwal re-teritorisasi. Batas wilayah negara tidak boleh menghentikan ekspansi korporasi, walau sesungguhnya secara nasional sudah ada regulasi terhadap korporasi.

Namun, hukum internasional tetap menjadikan korporasi sebagai subyek hukum. Sehingga, negara sebagai produsen hukum dimana korporasi berasal harus mengikuti aturan-aturan hukum internasional. Terutama, aturan bisnis internasional seperti ketentuan investasi asing langsung.

Mikler menyebut adanya tiga kekuatan dari korporasi global. Ketiganya bisa berjalan sendiri atau saling mengait satu sama lain. Yang pertama adalah kekuatan instrumental. Kekuatan ini tampak pada pengaruh langsung satu aktor kepada yang lain atau saling mempengaruhi untuk meraih hasil yang diinginkan. Contohnya, pengaruh satu negara kepada negara lain lalu saling berperang guna meluaskan wilayah.

Dalam konteks korporasi, perluasan wilayah produksi atau pasar produk juga menampakkan gejala saling pengaruh antar korporasi. Negara asal korporasi bahkan bisa ikut terlibat dalam lobi ke negara dimana korporasi kompetitor berada. Saling pengaruh satu kepada yang lain ini berlangsung tanpa sorotan media, kemudian baru terasa ketika kesepakatan antar korporasi berdampak pada publik.

Yang kedua adalah kekuatan struktural, berkaitan pada perilaku pengelolaan masalah yang bisa ditempatkan di dalam atau di luar dari pengaturan agenda para aktor politik. Korporasi global biasanya sangat peka terhadap cakupan dan dominasi pasar. Masalah-masalah yang timbul dari pasar belum tentu bisa terselesaikan lewat mekanisme bisnis, sebab, bisa pula harus melibatkan aktor-aktor negara.

Walau dengan pembatasan, aktor negara punya peran dalam merancang agenda penyelesaian masalah tanpa mengintervensi dinamika pasar. Di lain pihak, kepentingan korporasi menjadi motif utama upaya aktor negara ini. Apalagi dengan alasan menjaga iklim investasi yang kondusif.

Korporasi tidak menjadi bagian struktural negara, tapi ia mampu mengendalikan arah kebijakan negara. Kekuatan struktural korporasi ini tak boleh diremehkan, jangan sekali-kali menyepelekan. Sebab, peralihan lokasi investasi sering menjadi dalih ampuh menundukkan negara.

Kekuatan ketiga dari korporasi adalah kekuatan diskursif. Kekuatan ini menyangkut gagasan, utamanya gagasan bisnis multinasional yang kadang belum terpikirkan perangkat pendukungnya oleh negara. Kekuatan ini mendukung legitimasi korporasi atas suatu kegiatan.

Contoh paling mutakhir untuk kasus di Indonesia barangkali bisa merujuk pada bisnis online lintas negara. Ketika sebuah perusahaan online memperoleh suntikan modal dari perusahaan raksasa bisnis dari luar negeri, maka negara bersifat pasif. Apalagi, belum ada perangkat hukum nasional yang melarang suntikan terhadap perusahaan macam begitu.

Sedangkan aturan yang ada hanya menyasar pada kegiatan transaksi elektronik, maka negara tak bisa mencegah gagasan investasi luar negeri untuk bisnis online di dalam negeri. Gagasan korporasi seringkali jauh lebih cepat dibanding beragam perancangan atau rencana program aksi yang hanya baru dicanangkan pemerintah. Kekuatan ini menjadikan posisi korporasi sebagai identitas yang sangat dibutuhkan negara. Sebaliknya, posisi negara hanyalah pelengkap dari perwujudan gagasan korporasi, yang bukan saja bersifat nasional, namun sudah melangkah ke tataran global.

Secara keseluruhan, buku ini menawarkan pandangan segar untuk melihat tingkah laku korporasi global sebagai kekuatan politik. Dalam berbagai kajian tata kelola pemerintahan, seringkali korporasi hanya disinggung sekilas karena kajian itu lebih melihat posisi negara dan masyarakat sipil sebagai penerima layanan publik.

Buku ini justru mengulas lebih dalam peran serta tabiat korporasi global dalam mempengaruhi negara. Hal itu yang menjadikan buku ini berbeda dibanding buku-buku terdahulu yang mengupas posisi negara dalam dinamika pasar.

Oleh: Rosdiansyah*
Editor: Muhammad Nashir

* Peresensi alumni FH Unair, master studi pembangunan ISS, Den Haag, Belanda. Peraih berbagai beasiswa internasional. Kini, periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP, Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment