New Normal dan Pancasila

New Normal dan Pancasila

Meluruskan Kembali Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 Berdasarkan Pancasila
Ilustrasi lambang Pancasila. (Ils: Dribbble/Faris Azhar)

Suaramuslim.net – Pancasila adalah dasar negara sekaligus ideologi negara yang menjiwai cara berpikir, bertindak setiap warga negara. Pancasila adalah gagasan besar dalam membangun suatu bangsa yang dapat menyatukan semua keinginan dan kehendak bersatu dan merdeka.

Pancasila dengan kelima silanya adalah intisari dari nilai-nilai dasar yang diharapkan memberikan landasan dalam berperilaku. Karena lima sila adalah intisari maka mana mungkin dapat diperas menjadi beragam perasan kecuali yang lainnya hanya akan menjadi ampas (sisa yang tidak bermanfaat)?

Istilah Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan sebuah pengertian bahasa yang sangat jelas dan spesifik bahwa negara yang akan dibentuk (pada awal mulanya) dan ingin diwujudkan (dalam realitasnya) adalah suatu negara yang sangat menjunjung tinggi nilai ketuhanan yaitu suatu negara yang anak bangsanya bertauhid, mengesakan Tuhan.

Esa atau Tunggal atau Ahad, suatu diksi yang sangat lengket dengan Islam. Artinya negara yang ingin diwujudkan ini tidak dapat dipungkiri atas berkat rahmat Allah swt di negeri berpenduduk muslim terbesar dunia.

Pancasilais di masa new normal

Seorang Pancasilais pada masa new normal tentu akan semakin mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa seraya percaya bahwa segala apapun peristiwa adalah atas kehendak-Nya yang harus diterima penuh kesabaran dan ketawakkalan dengan cara beribadah dan berdoa.

Bukan seorang yang malah menjauhkan diri dan orang lain dari agama ataupun tempat dan syiar agama.

Menutup masjid dan mencurigai masjid atau lembaga penddidikan Islam sebagai tempat yang layak diawasi sebagai tempat penyebaran virus adalah tindakan seorang yang jauh dari nilai Pancasila dan bukanlah ciri seorang Pancasilais.

Sila pertama dari Pancasila adalah menjiwai dan mewarnai dari sila-sila lainnya yang empat. Artinya kemanusiaan hanya akan berkeadilan serta menghasilkan realitas kehidupan yang beradab manakala nilai ketuhanan mampu menjadi bingkai utamanya.

Adil dan adab adalah dua diksi yang hanya ditemukan dalam terminologi Islam. Sebagaimana firman Allah swt:

۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90).

Adil menurut Hamka dalam tafsir Al Azhar adalah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah, dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.

Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri. Jadi adil bukanlah sama rata sama rasa. Sebagaimana dipahami kalangan sosialis atau setara sebagaimana yang dipahami kalangan Barat liberalis.

Di masa new normal, seorang Pancasilais harus lebih mengedepankan nilai-nilai adil dan adab dalam berperilaku, baik di ruang-ruang pendidikan ataupun ruang interaksi sosial lainnya.

Perlakuan berat sebelah terhadap suatu kelompok masyarakat dengan memperketat tindakan dalam pencegahan penyebaran virus corona pada kaum muslimin di satu sisi, namun melonggarkannya pada kelompok agama lain di sisi yang lain, adalah tindakan yang jauh dari jiwa pancasila.

Persatuan seluruh komponen bangsa akan terwujud manakala nilai ketuhanan menjadi landasan utamanya sehingga hati-hati mereka benar-benar terikat dalam ikatan kokoh dan bukan palsu tidak saling mengkhianati.

Persatuan yang tidak dilandasi oleh nilai ketuhanan hanya akan menjadi fatamorgana. Mereka diibaratkan oleh Allah dengan satu kelompok yang seakan tampak berkumpul namun sejatinya hati mereka bercerai-berai. Sebagaimana firman Allah:

بَأۡسُهُم بَيۡنَهُمۡ شَدِيدٞۚ تَحۡسَبُهُمۡ جَمِيعٗا وَقُلُوبُهُمۡ شَتَّىٰۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَوۡمٞ لَّا يَعۡقِلُونَ

“Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti.” (Al-Hasyr: 14).

Kerakyatan, permusyawaratan dan perwakilan akan berjalan efektif dan sesuai dengan semangat para founding father untuk menghadirkan nilai kebersamaan dan kesederajatan dalam menyusun kebijakan penuh kebijaksanaan manakala permusyawaratan itu didasarkan atas nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa, nilai tauhid agama.

Sehingga permusyawaratan dalam setiap pengambilan kebijakan akan menjadi bermakna karena didasarkan atas kepatuhan pada perintah Tuhan. Sebagaimana firman Allah swt:

وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Asy-Syura: 38).

Bermusyawarah dalam perspektif ketuhanan Yang Maha Esa adalah meletakkan setiap perkara diputuskan oleh pertimbangan para ahli (fuqaha dan alim) yang berkompeten. Kebijakan bukan diputuskan oleh semua orang secara sembarang serampangan.

Pemilihan para ahli dipilih berdasarkan kompetensi keilmuwan masing-masing dan bukan semata berdasar jumlah suara hasil voting, one man one vote ala demokrasi liberal.

Di masa new normal, nilai permusyawaratan ini harus dihadirkan dengan mengedepankan prinsip kebijaksanaan untuk mencipta suasana yang lebih baik. Bukan menjadikan masa new normal untuk menelikung masyarakat dengan berbagai kebijakan yang dapat merugikan negara dan bangsa, baik dalam aspek ekonomi maupun politik ataupun kebijakan yang mereduksi nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Demikian pula, keadilan sosial hanya akan terwujud manakala nilai-nilai keadilan ketuhanan yang dijadikan landasan dalam mewujudkan keadilan.

Keadilan dalam perspektif Ketuhanan yang Maha Esa berarti pengelolaan potensi ekonomi harus lebih mengedepankan rakyat kebanyakan (pribumi) daripada lainnya.

Pengelolaan potensi ekonomi dan potensi lainnya dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di masa new normal, saat masyarakat bawah (wong cilik) sulit mendapatkan akses ekonomi pasca masa pembatasan sosial yang membuat sekarat ekonomi mereka, maka seorang Pancasilais harusnya hadir dengan penuh kepedulian untuk membangkitkan ekonomi mereka, agar potensi ekonomi tidak hanya berputar di antara orang kaya saja. Sebagaimana Firman Allah swt:

… كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ …

… agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.. (Al-Hasyr: 7).

Sehingga berpura-pura tidak mau tahu atas penderitaan masyarakat, atau bahkan membuat kebijakan yang malah membuat ekonomi masyarakat bawah berada di ujung kematian, tentu hal ini bukanlah seorang Pancasilais.

Pancasila bukan sekadar dijadikan wacana untuk didiskusikan belaka atau bahkan dijadikan alat untuk menuduh kelompok tertentu yang berseberangan dengan kepentingan penguasa, namun harusnya Pancasila dijadikan nilai yang melandasi tindakan dan menjiwai setiap kebijakan agar tercipta kehidupan berbangsa yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

20 Juni 2020
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment