Rasa Keadilan Masyarakat nampaknya merupakan barang mewah di Indonesia akhir-akhir ini. Hal itu dapat disimpulkan dari maraknya aksi yang melibatkan jutaan umat Islam yang menuntut ditegakkannya keadilan.
Karena itulah, Oase Bangsa, program rutin bulanan Suara Muslim Network yang selalu mengundang tokoh nasional itu mengambil tema “Penegakan Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat” yang digelar di Hotel Mercure, Jalan Raya Darmo Surabaya, Rabu (10/5). Kegiatan ini menghadirkan Prof. Dr. Din Syamsudin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI dan Dr. Suparto Wijiyo, Pakar Hukum Universitas Airlangga Surabaya sebagai pembicara.
Selain, kedua nara sumber yang diundang, kegiatan ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh lain dari beragam latar belakang. Sebut saja Prof. Ir. Joni Hermana, M.Sc.ES. Ph.D, Rektor ITS, Prof. Dr. H. Fasichul Lisan, Apt, Guru Besar Universitas Airlangga, Dr. Hufron, SH, MH, dosen hukum dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Arif Afandi, pengusaha yang pernah menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Harian Jawa Pos dan Wakil Walikota Surabaya, Sahirul Alim, aktivis Partai Demokrat, Ahmad Zakaria, Anggota Komisi B DPRD Kota Surabaya, dan lain-lain.
Din Syamsudin, dalam penyampaian materinya mengatakan bahwa protes keras masyarakat tentang keadilan ini sebenarnya merupakan akumulasi atau gumpalan masalah tentang ketidakadilan ekonomi yang menempatkan umat Islam di posisi terpuruk di bidang ekonomi. “Sementara Ahok, direpresentasikan sebagai penjelmaan penguasa ekonomi itu,” imbuhnya.
Hal itu, ia melanjutkan, diperparah dengan banyak hal yang dipertontonkan di masyarakat seolah-olah Basuki Tjahja Purnama kebal hukum meskipun berbagai kasus melandanya. “Kasus di Belitung yang belum selesai sampai sekarang, Rumah Sakit Sumber Waras, reklamasi, dan penistaan agama. Ini sangat mengusik rasa keadilan di masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Dr. Suparto Wijoyo, SH, M.Hum, dalam kegiatan itu membahas tentang hubungan antara negara dan agama. “Jika ada yang ingin memisahkan antara agama dan negara Indonesia, dia berarti tidak paham sejarah,” tegas pria yang biasa dipanggil Cak Parto itu.
Pria yang khas dengan jas batiknya ini kemudian menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. “Pertanyaannya kemudian adalah, hukum yang bagaimana?” Jawabannya, ada di UUD 1945 di pasal 29 ayat 1, yang bunyinya, Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa. “Ini artinya Indonesia ini negara hukum yang sangat teologis, sangat tauhid,” tegasnya. Karenanya, ia menyesalkan orang yang sering memberi label “Anti NKRI” atau intoleran kepada orang-orang yang agamis. “Mereka yang memberi label itu, justru tidak paham.”
Sejalan dengan itu, Prof. Ir. Joni Hermana, M.Sc.ES. Ph.D, Rektor ITS, juga sangat menyayangkan labelisasi yang dibuat untuk membentuk opini tertentu. “Harusnya, tidak perlu ada labelisasi anti NKRI dan sejenisnya, apalagi jika itu dilakukan negara. Karena negara seharusnya membela warganya, bukan dengan cara yang demikian,” katanya.
Berbagai tokoh yang dihadirkan dan berdiskusi di kegiatan OASE Bangsa ini, menurut Muhammad Nashir, koordinator kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat bagaimana cerdas menyikapi vonis hukum pada penista agama. Selain itu, ia berharap, kegiatan ini juga memberikan masukan berupa langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar kasus penodaan agama tidak memecah belah persatuan.
“Kami ingin menajamkan fungsi media massa sebagai kontrol sosial, edukasi dan informasi bagi masyarakat, sekaligus memberi alternatif solusi berbagai permasalahan bangsa,” tegas penyiar Rasio Suara Muslim Surabaya ini. (wir)