Suaramuslim.net – Di dunia yang kerap lebih sibuk menatap konflik daripada kemanusiaan, nama Omar Yaghi muncul seperti oase di tengah padang pasir. Ia lahir di Amman, Yordania, dari keluarga pengungsi Palestina yang terusir dari tanah kelahirannya.
Hidupnya dimulai bukan di laboratorium, tapi di tenda-tenda pengungsian dan ruang-ruang sempit harapan. Namun, dari luka itu tumbuh tekad untuk mencari jawaban, bukan melalui kemarahan, tetapi lewat ilmu pengetahuan.
Kini, Yaghi dikenal sebagai salah satu ilmuwan kimia paling berpengaruh di dunia. Ia menemukan Metal-Organic Framework (MOF), yaitu bahan berpori super yang mampu menangkap, menyimpan, bahkan menyalurkan gas. Termasuk menyerap kelembapan udara dan mengubahnya menjadi air bersih.
Teknologi ini di samping bakal jadi bagian revolusi ilmiah, sekaligus jadi simbol: bagaimana dari udara yang tak terlihat, manusia masih bisa menemukan kehidupan.
Bayangkan, di gurun tandus atau daerah yang tak memiliki sumber air, alat berbasis MOF mampu menghasilkan air minum hanya dari kelembapan malam hari. Tanpa listrik. Tanpa bahan kimia berbahaya. Inilah ilmu yang lahir bukan dari ambisi industri, tapi dari rasa empati terhadap penderitaan manusia.
Yaghi menyebutnya “Ilmu untuk kemanusiaan.”
Dalam wawancaranya, Yaghi sering menolak gelar “jenius”. Ia berkata lembut: “Saya hanya ingin dunia tahu bahwa seorang pengungsi pun bisa memberi air bagi kehidupan.”
Kalimat itu seperti menampar kesombongan dunia modern yang sering mengukur nilai seseorang dari paspor dan universitasnya. Yaghi membuktikan bahwa ilmu pengetahuan tidak punya agama, tapi ilmuwan punya nurani.
Nurani itulah yang membimbingnya menolak jalur komersialisasi berlebihan atas temuannya. Ia memilih membagikan penelitiannya secara terbuka agar bisa dimanfaatkan oleh siapa pun, terutama masyarakat di wilayah kering dan miskin air, dan banyak di antaranya merupakan wilayah dunia Islam itu sendiri.
Secara ilmiah, penemuan Yaghi mengubah paradigma kimia material. MOF menjadi dasar teknologi baru dalam penyimpanan energi, pengurangan emisi karbon, hingga farmasi.
Namun secara filosofis, kisah Yaghi mengajarkan sesuatu yang lebih dalam: bahwa pengetahuan sejati bukanlah milik mereka yang punya laboratorium besar, tetapi milik mereka yang punya hati luas. Ia menulis ilmu bukan di atas kertas, tapi di atas luka bangsanya. Ia menyalakan obor peradaban bukan dari api ambisi, tapi dari bara kemanusiaan.
Dunia Islam seharusnya melihat sosok seperti Omar Yaghi, di samping sebagai kebanggaan simbolik, sekaligus sebagai teladan arah baru peradaban ilmiah. Bahwa Islam pernah melahirkan Al-Khawarizmi, Ibn Sina, dan Jabir ibn Hayyan, bukan untuk nostalgia, tapi untuk menyadarkan: bahwa sains dan iman tak pernah bertentangan. Ilmu adalah bagian dari ibadah. Eksperimen adalah bentuk dzikir. Dan kebermanfaatan adalah puncak iman.
Dalam konteks global saat ini, ketika Islam sering direduksi dalam narasi politik dan konflik, maka kisah Yaghi adalah pesan moral: bahwa pengabdian paling indah bagi umat bukan lewat teriakan, tapi lewat karya. Bukan lewat kemarahan, tapi lewat solusi nyata bagi sesama manusia.
Bagi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), kisah ini adalah cermin sekaligus undangan. Bahwa cendekiawan sejati di samping pandai berteori, juga mampu mengubah ilmu menjadi maslahat. ICMI punya peran strategis untuk menjembatani keilmuan, spiritualitas, dan kemanusiaan. Sebagaimana Yaghi menjembatani udara menjadi air, dan luka menjadi inspirasi.
Jika dunia sedang haus akan pemimpin yang berilmu dan berhati, maka semoga dari tanah Indonesia ini, lahir ribuan “Omar Yaghi baru”, yaitu: ilmuwan Muslim yang tak sibuk mencari panggung, tapi sibuk menyalakan harapan. Karena seperti kata Yaghi sendiri, “Dunia tak kekurangan kecerdasan. Dunia hanya kekurangan kasih sayang dalam ilmu.”
Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur