Suaramuslim.net – Organisasi Papua Merdeka (OPM) sudah layak disebut sebagai ancaman disintegrasi negara. Berbagai tindakannya sudah mengarah kepada upaya mewujudkan keinginannya untuk meraih kemerdekaan. Mengibarkan bendera OPM dan menyanyikan lagu, serta aksi-aksi yang menguatkan dirinya sebagai kekuatan yang mengancam warga sipil semakin meneguhkan dirinya sebagai kelompok separatis. Uniknya negara masih lambat dalam menangani kasus ini, sehingga mengancam kedaulatan negara dengan membunuh para pekerja yang bekerja untuk kepentingan negara. Hal ini disebabkan oleh tindakannya yang secara terbuka mengganggu proyek pemerintah dengan motif untuk menuntut kemerdekaan.
Bahaya Separatis dan Ancaman Disintegrasi
Sebagaimana diketahui bahwa telah terjadi peristiwa penembakan terhadap 31 orang pekerja di Nduga, Papua. Korban penembakan adalah pekerja Istaka Karya di Kali Yigi-Kali Aurak, distrik Yigi, kabupaten Nduga, Papua. Kejadian ini terjadi di hari Minggu, 2 Desember 2018 sehingga menyebabkan nyawa para pekerja yang menggarap proyek jembatan ruas jalan trans Papua itu meninggal.
Kejadian ini menunjukkan bahwa OPM secara kasat mata benar-benar menjadi ancaman bagi negara, namun tindakan separatis itu belum ditindak secara cepat. Bahkan negara hanya menyebut mereka sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Tindakan OPM ini tergolong sangat kejam dan brutal, karena yang menjadi sasaran adalah orang sipil. Stigma radikal atau teroris akan selalu melekat ketika kelompok Islam melakukan hal tersebut.
Disinyalir bahwa pelakunya adalah Egianus Kogoya. Dia adalah kepala KKB, sempalan Kelly Kwalik, komandan dari sayap militer OPM. Egianus sebagian besar anggotanya adalah anak muda dan lebih militan. Egianus pernah membuat keributan pada pilkada serentak Juli lalu sebagai upaya untuk mencegah pelaksanaan pemilu. Anggota Egianus diperkirakan berjumlah 50 anggota dengan bersenjata lengkap berstandar militer. Beberapa aksi yang telah dilakukan oleh Egianus, di antaranya penembakan terhadap pasukan Brimob di bandara saat mengamankan pilkada, dan melakukan penyekapan terhadap guru dan tenaga medis di Puskesmas Mapenduma Nduga, serta penembakan terhadap pekerja di jalan trans Papua tahun 2018. Dan yang terbaru, melakukan penyerangan terhadap 31 pekerja PT Istaka Karya.
Tindakan separatis kelompok Egianus diperkuat oleh juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), Sebby Sambon. Dia mengakui bahwa KKB merupakan sayap militer OPM terhadap 31 pekerja proyek di Nduga itu. Mereka menuntut kemerdekaan Papua Barat. Mereka sepakat untuk menolak semua program pembangunan di Papua Barat, dan hanya menuntut hak kemerdekaan. (Tempo.co, 6/12/2018).
Berdasarkan fakta di atas, negara selayaknya mengambil langkah cepat. Karena tindakan kelompok separatis ini jelas bukan hanya sebagai ancaman masyarakat sipil, tetapi sekaligus sebagai ancaman negara yang berdaulat. Tindakan penyerangan terhadap proyek negara sama artinya melawan kebijakan negara.
Menunggu Ketegasan Negara
Apa yang dilakukan oleh sayap militer OPM merupakan gerakan separatis yang mengancam kedaulatan negara. Penyerangan terhadap para pekerja merupakan simbol perlawanan terhadap negara. Mereka secara terbuka menyatakan bahwa motif penyerangan adalah untuk menolak kebijakan pemerintah dalam melakukan pembangunan di Papua. Bahkan mereka secara eksplisit menginginkan kemerdekaannya. Mereka sudah sering mengekspresikan keinginan besar mereka tapi negara masih menganggapnya sebagai ancaman negara. Bahkan ekspresi sudah mereka tunjukkan di setiap acara mereka, seperti menampilkan lagu kebangsaan dan lambang bendera mereka. Mereka juga mengklaim memiliki wilayah dan kekuasaan, serta jumlah penduduk yang jelas.
Atas fakta di atas, sudah selayaknya negara bertindak cepat dengan melakukan penghentian dan pengamanan. Penghentian terhadap aksi dan gerakan yang membahayakan bagi masyarakat sipil. Pengamanan terhadap kelompok separatis agar tidak menjalar atau memberi spirit untuk berkembang lebih besar. Kalau menganggap sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata, maka upaya untuk memberantas hingga ke akar-akarnya akan sulit. Karena tidak ada dasar bagi militer untuk melakukan pemberantasan secara all out.
Respon negara terhadap OPM sangat bertolak belakang ketika menghadapi gerakan umat Islam. Pemerintah dengan khawatir dalam merespon gerakan umat Islam. Umat Islam, baik secara individu maupun komunitas, terus dipantau sehingga menghasilkan kebijakan yang represif, seperti mengkriminalisasi tokoh-tokoh Islam yang kritis hingga memenjarakan mereka, termasuk terhadap kaum muslimin yang melakukan gerakan reuni 212. Terhadap reuni 212, negara sedemikian gigih untuk melakukan penghadangan. Gerakan umat Islam dianggap membahayakan ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kalau terhadap aksi umat Islam, negara demikian besar kekhawatirannya, padahal tidak ada ancaman sama sekali. Bahkan di berbagai aktivitas umat Islam senantiasa menegaskan untuk menjaga diri dari hal-hal yang dikhawatirkan oleh elite negara. Namun, terhadap aktivitas OPM yang jelas-jelas membunuh anak bangsa dan ingin memisahkan diri dari NKRI, justru negara kurang merespon seolah-olah menghadapi kriminal biasa.
Umat Islam seolah-olah dianggap sebagai musuh bersama (common enemy), sehingga harus dicurigai segala gerak-geriknya. Setiap gerakan umat Islam senantiasa dicurigai sebagai ancaman ideologi negara. Sementara gerakan separatis, seperti OPM justru negara mengalami kegamangan dan enggan bertindak cepat dan represif untuk menyelamatkan dan menjaga wibawa negara.*
*Ditulis di Surabaya, 11 Desember 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net