Penulis: Yusuf Maulana
Editor: Ahmad Jilul Qur’ani Farid
Suaramuslim.net – “Generasi tua tumbuh dalam masyarakat yang tertutup, mereka tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia luar, bahkan di negara-negara Muslim. Saat Erbakan berbicara tentang melakukan jihad, sebagai contoh, ia benar-benar tidak mengetahui apa yang dia maksudkan, tetapi secara alamiah, hal tersebut membuat takut orang-orang. Hal tersebut juga akan membuat takut saya. Generasi tua dalam partai mungkin berbagi cita-cita yang sama dengan generasi muda untuk membuat Turki menjadi negara modern melalui nilai-nilai moral dan agama, akan tetapi, orang-orang tua tersebut tidak memiliki basis intelektual untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka”.
Demikian dikatakan Murat Mercan, penasihat utama Presiden Turki semasa dijabat oleh Abdullah Gül (AKP). Petikan ini saya peroleh dari Rahmat Fiansyah dalam skripsi sarjananya untuk di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (2012). Petikan ini berasal dari Whit Mason dalam artikel berjudul “The Future of Political Islam in Turkey” yang dimuat dalam World Policy Journal Vol. 17, No. 2, 2000, hlm. 65.
Begitulah dinamika dan dialektika antara kelompok tradisionalis (Gelenekçiler) dan kelompok reformis (Yenilikçiler) di Turki dalam pertubuhan yang awalnya bercorak islamis di bawah bimbingan Hoca Necmettin Erbakan. Kalangan tradisionalis identik sebutan “tua”, tanpa merujuk pada umur biologis, tersebab sering mengandalkan pengalaman dan berpuas untuk meyakini apa yang dianutnya sebagai pemandu di zaman mendatang.
Sementara itu, kalangan reformis yang biasa berasosiasi “muda” (juga tak berbatas pada usia biologis), memandang beda pendekatan sejawatnya itu dalam membaca zaman dan pernak-pernik penyertanya. Kalangan muda ini lantas menilai nirhadir basis intelektual pada kalangan tua.
Semuanya memang berdalil, namun membaca dan mengolah dalil agama perlu kejeniusan agar tidak tergerus zaman. Dan ini butuh kematangan intelektual sebagai olah pikir dan hati agar bersiap mengarungi perseteruan dalam kawan sejamaah. Ketika menyikapi perbedaan belum siap dilakoni, hal-hal remeh yang menandai “identitas” orang-sana (osan) dan orang-sini (osin) bakal lebih mencuat sebagai klaim benar-salah kita atau mereka.
Padahal, ketika itu, yang lebih dibutuhkan sebenarnya mematangkan cara baca kita pada tanda zaman; bukan menyikut atau antispasi disikut barisan al-akh di seberang sana. Inilah kematangan emosi yang, entah mengapa, kadang dialpakan. Kematangan emosi penting manakala godaan berseteru berasa indah, atau berpisah dalam beda wadah seakan satu persaingan di ladang dakwah.
Dalam tempaan tarbawi, seyogianya kelapangan dada menerima perbedaan sudah jadi keniscayaan, terlebih sejak awal sudah mendeklarasikan sebagai komunitas terbuka pada lingkungan dan zaman.
Jadi, janganlah ihwal osan-osin hanya jadi sumber bimbang mereka yang masih genggam sikap militan. Mestinya meloharokah ini jadi momen saling mendewasakan. Pun ketika saatnya saking berpisah. Tak ada celah ketika tak serumah lagi asalkan masih berjamaah dalam barisan ummah Muhammad.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net