Suaramuslim.net – Tertangkapnya Wahyu Setiawan (WS) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa membuka kotak pandora berbagai praktik kecurangan di negeri ini. Keberhasilan KPK dalam menangkap WS bukan hanya sebagai jawaban kekhawatiran publik bahwa KPU memang rentan suap. Tetapi juga untuk meruntuhkan anggapan bahwa KPU sebagai lembaga yang bisa dipercaya dan bersih.
WS bisa menjadi ‘tsunami’ politik sebagai dampak atas adanya fenomena kecurangan layaknya gunung es. Hal ini bisa mendeligitimasi sistem demokrasi di Indonesia. Dikatakan tsunami politik karena akan membuka kejahatan politik yang selama ini dilakukan secara terstruktur, sistematis dan cenderung ditutup-tutupi. Dikatakan mendeligitimasi sistem demokrasi karena publik melihat secara langsung praktek kecurangan kolektif yang dilakukan oleh elite politik.
OTT dan Penindakan Penjahat Politik
Sebagaimana ramai di media sosial bahwa WS tertangkap basah dalam OTT KPK pada 8 Januari 2020. Mantan komisioner KPU ini diduga menerima uang sogok dari Harun Masiku sebagai mahar untuk duduk sebagai anggota DPR RI. Harun menyuap WS untuk meloloskan dirinya untuk mengganti Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019. Atas meninggalnya Nazarudin, KPU sudah menetapkan Riezky Aprilia dalam Pergantian Antar Waktu (PAW), sebagai konsekuensi perolehan suara terbanyak kedua. Namun Harun Masiku, sebagai kader Partai Demokras Perjuanga (PDI-P) berusaha menyuap WS agar dirinya bisa lolos menduduki kursi yang menjadi hak Riezky Aprilia.
Keinginan Harun berjuang merebut kursi yang ditinggalkan Nazarudin Kiemas direkomendasi melalui surat yang ditandatangani Megawati Soekarnoputri, selaku ketua umum PDI-P dan Hasto Kristiyanto selaku Sekjen. Untuk memuluskan rencana itu, Harun sepakat membayar uang senilai Rp 900 juta sebagaimana yang diminta WS. Harun yang saat ini buron, merupakan kader PDI-P dari dapil 1 Sumatera Selatan dengan nomor urut 6. Tertangkapnya WS dalam OTT KPK ini bisa mengandaskan keinginannya untuk mengganti posisi Nazarudin.
Yang lebih memprihatinkan bahwa persekongkolan jahat ini diketahui dan direstui oleh pucuk pimpinan PDI-P sekaligus mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Hal ini bukan hanya membenarkan pandangan publik bahwa PDI-P sebagai rumah yang nyaman bagi praktik kecurangan, tetapi juga sebagai motor kecurangan dalam praktek politik. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuan Arief Budiman, selaku ketua KPU yang menyatakan keterlibatan Megawati Soekarnoputri dalam mem-back up Harun dalam menabrak aturan.
Persekongkolan jahat elite PDI-P itu bisa dilihat ketika menolak tim KPK yang akan menggeledah kantor PDI-P. Yang menarik, penolakan itu dengan alasan tim KPK tidak membawa surat tugas, sehingga tidak boleh menggeledah kantor partai banteng bermoncong putih ini. Tindakan non-koperatif ini jelas sebagai indikasi buruk bagi perjalanan demokrasi di Indonesia
Menunggu Sikap Tegas KPK
Tertangkapnya WS merupakan indikator bebasnya para penjahat politik dalam menerapkan politik transaksional. Nilai-nilai agung demokrasi hanya wacana dan berlaku hanya saat kampanye untuk mendulang suara. Namun dalam praktik politik, nilai-nilai seperti kejujuran, keterbukaan, dan menepati janji terinjak-terinjak oleh kepentingan sesaat.
Apa yang dilakukan WS benar-benar membuktikan praktik transaksional hanya semata untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan. Kalau KPU sudah tidak dipercaya publik karena sudah tidak kebal lagi terhadap suap, maka akan terjawab kualitas pemimpin yang dihasilkan dari kerja KPU.
Dengan tertangkapnya WS, kepercayaan publik terhadap KPU memang semakin lemah. Sekarang bergantung pada kerja KPK, apakah serius dalam menindaklanjuti temuan-temuan di lapangan. Termasuk dalam membongkar kejahatan politik yang dilakukan oleh partai besar yang yang membekingi praktik suap untuk memperoleh jabatan politik. Bila kinerja KPK berani membongkar keterlibatan para pelaku suap, termasuk berani memproses keterlibatan putri mantan presiden pertama Republik Indonesia ini, maka kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah akan naik kembali.
Namun sebaliknya, publik sudah pesimis melihat beberapa realitas di antaranya. Pertama, bila kinerja KPK hanya bersifat sporadis dan meraih popularitas. Sporadis ketika hanya memilih kasus-kasus tertentu dalam skala kecil, dan membiarkan otak intelektual tindak korupsi. Popularitas kepemimpinan KPK, yang dinakhodai Firli Bahuri, memang dipertanyakan. Sehingga tindakan menangkap WS benar-benar mengangkat citra baik KPK. Dan masyarakat berhadap kinerja KPK ini bisa tuntas dan membongkar akar kejahatan politik ini.
Kedua, oligarki kekuasaan. Harapan masyarakat terhadap KPK untuk memproses elite politik PDIP, dalam hal ini Sekjen, Hasto Kristiyanto dan Megawati Soekarnoputri masih jauh dari panggang api. Dua petinggi PDI-P ini bersinergi dalam memenangkan rezim ini, sehingga ketika membongkar akar kejahatan ini sama saja meruntuhkan kekuasaan presiden. Terlebih lagi, masyarakat memandang bahwa KPK merupakan bagian dari rezim, sehingga akan memperhitungkan resiko yang akan mereka tanggung bila mengambil sikap tegas dan berani.
Fenomena tertangkapnya WS sekaligus menepis adagium yang selalu didengungkan bahwa KPU dianggap bersih dan kebal terhadap praktik suap. Bahkan publik sangat yakin bahwa tertangkapnya WS semakin meyakinkan aroma kecurangan pada Pilpres 2019. Terlebih lagi, WS adalah figur yang mengumumkan hasil Pilpres di tengah malam yang memenangkan rezim ini. Tertangkapnya WS benar-benar menyempurnakan opini publik bahwa KPU sebagai lembaga yang sah dalam melegitimasi kecurangan Pilpres yang terstruktur, sistematis, dan saling menutupi.
Surabaya, 12 Januari 2019
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net