RAKHINE (Suaramuslim.net) – Muslim Rohingya yang masih berada di negara bagian Rakhine, Myanmar menghadapi ancaman genosida. Seperti yang dilansir dari Aljazera, hal ini diutarakan para penyelidik PBB untuk memperingatkan bahwa pemulangan kembali satu juta muslim Rohingya yang telah diusir dari negara itu oleh tentara tetap “tidak mungkin.”
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada hari Senin, sebuah misi pencarian fakta PBB juga menyerukan jenderal-jenderal penting Myanmar, terutama panglima militer Min Aung Hlaing, untuk diadili atas pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran massal selama penumpasan Rohingya.
Misi tersebut, yang didirikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Maret 2017, menambah temuannya yang diterbitkan tahun lalu, di mana ia menyebut tindakan keras tahun 2017 sebagai “genosida.”
“Sekitar 600.000 Rohingya hidup dalam kondisi menyedihkan di negara bagian Rakhine, tunduk pada pembatasan gerakan yang menyentuh hampir setiap aspek kehidupan mereka,” kata laporan itu.
“Faktor-faktor yang berkontribusi pada pembunuhan, pembakaran dan pemerkosaan massal, penyiksaan, pemindahan paksa dan pelanggaran HAM berat lainnya, oleh militer Myanmar dan otoritas pemerintah lainnya masih ada,” katanya.
“Myanmar terus menyembunyikan niat genosida dan Rohingya tetap di bawah risiko serius genosida,” kata para peneliti dalam laporan mereka, yang akan disampaikan kepada Dewan HAM PBB di Jenewa pada hari Selasa, (17/9).
Myanmar telah berulang kali membantah temuan 2018 penyelidik PBB dan belum menanggapi laporan terbaru.
Sekitar 740.000 Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh setelah tindakan keras oleh pasukan pemerintah dan kelompok lain yang dimulai pada Agustus 2017.
Rohingya yang melarikan diri dari ancaman pemerkosaan, pembunuhan, dan penyiksaan, bergabung dengan sekitar 300.000 orang Rohingya yang tinggal di Bangladesh selatan, yang sekarang menjadi tuan rumah kamp pengungsi terbesar di dunia.
Sementara Rohingya yang mayoritas Muslim telah tinggal di Myanmar selama beberapa dekade, pemerintah memandang mereka sebagai “imigran ilegal.” Undang-undang tahun 1982 menolak kewarganegaraan bagi mereka.
Reporter: Ali Hasibuan
Editor: Muhammad Nashir