SURABAYA (Suaramuslim.net) – Pada 2019, untuk pertama kalinya, Indonesia akan menggelar pemilihan legislatif dan pemilihan presiden secara serentak. Situasi politik mulai menghangat sejak 2018. Tak hanya elite politik, di dunia maya, pertarungan antar-kubu juga mulai terasa.
Beberapa waktu lalu, survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, konflik horizontal antar pendukung dapat menjadi salah satu penghambat penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Lantas, bagaimana umat Islam berperan dalam kontestasi politik ini?
Saatnya Mencetak Politisi Rabbani
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura Surochiem dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (02/01/19) mengatakan, ada kecendrungan yang dibikin agar umat Islam tidak solid, dalam posisi seperti itu kesadaran politik sangat penting.
Saat ini, lanjutnya, posisi politik struktural (parpol) di Indonesia mulai terkalahkan oleh politik kultural seperti gerakan-gerakan yang mulai mendapat simpati masyarakat. Menurutnya, ini merupakan otokritik terhadap partai politik yang semakin jauh dengan kehendak serta aspirasi umat.
“Saya pikir, kita semua ingin merevitalisasi peran umat Islam karena bagaimanapun genderang yang ditabuh banyak memantik emosi umat agar tidak solid, dan sepertinya mereka menari-nari di atas kepentingan itu untuk memecah belah,” jelas Surochiem.
Menurut mantan anggota KPID Jatim ini, gerakan non-struktural yang tidak terlembagakan jauh lebih popular. Tentu ini menjadi tantangan berat bagi partai-partai yang mempunyai visi menyuarakan aspirasi umat Islam agar dapat mengambil alih pemilih muslim dan lebih merasa memperjuangkan aspirasi umat secara serius.
“Tidak sekadar menjelang pileg dan pilpres, mereka memanfaatkan politik identitas, mengganggap suara umat hanya sebuah dagangan, sehingga jika seperti itu maka tidak akan pernah ada partai yang bisa mendapatkan tempat di hati umat Islam,” lanjutnya.
Surochiem menjelaskan, melihat kecendrungan akhir-akhir ini, justru peningkatan kualitas politik umat sangat signifikan dibandingkan para elit. Terbukti, gerakan massa jutaan yang dilakukan umat muslim berjalan sangat tertib. Pemandangan seperti itu, sebetulnya memberikan pesan moral betapa keinginan mereka itu sederhana, tapi parpol tidak mampu mengakomodasi.
Kencendrungan saat ini, imbuh Surochiem, jumlah orang yang membawa ke dalam “peradaban mamalia” atau kepentingan individual dan partai semakin besar dari pada membawa politik menuju “peradaban rabbani”. Aspirasi yang disampaikan umat muslim itu sebagai bentuk mengeliminasi “politisi-politisi mamalia”.
“Mereka politisi mamalia sering mendapatkan panggung dan mengaduk-aduk emosi umat yang membuat kita semua ini seoalah-olah bercerai berai, semakin tidak percaya antar satu yang lain, itulah mengapa umat Islam harus solid,” jelasnya.
Maka dari itu, menurut Surochiem revitalisasi politik sangat penting, agar umat Islam sebagai mayoritas tidak dibuat permainan. Sekitar akhir 2017-2018 ada pelajaran politik peristiwa penting yang menimpa Ahok. Tetapi, pasca peristiwa Ahok, politisi struktural bukannya semakin belajar untuk lebih arif dan proporsional, justru sekarang umat muslim dijadikan sebagai bahan kampanye untuk dibenturkan. Seolah-olah umat Islam memang mayoritas tetapi gampang dipermainkan oleh kelompok lain.
“Maka harapan saya kepada para politisi muslim, harus bisa menangkap baik keinginan publik, bagaimana cara bersama bisa membangun negeri agar jumlah politisi rabbani semakin banyak sehingga bisa melawan yang politisi yang tidak mempunyai nurani,” pungkas peneliti senior Surabaya Survei Center ini.
Urgensi Islam Politik
Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Musim Indonesia (ICMI), dr Fuad Amsyari, Ph.D dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (02/01/19) mengatakan, pada 1955 partai-partai berasas Islam (Masyumi, NU, PSII, PERTI) mencapai tingkat yang besar dibandingkan PNI (Partai Nasional Indonesia) MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) dan partai sekuler lainnya. Namun, yang terjadi saat ini justru terbalik. Umat muslim memilih partai-partai meskipun tidak mempunyai aspirasi agama Islam.
“Penyebabnya ada 2 sisi. Pertama, dalam dua periode ini terjadi proses pergantian Orde Lama ke Orde Baru yang memakan waktu 50 tahun. Disinilah Islam berada pada tantangan sekularisasi, misalnya yang sering kita dengar jargon “Islam yes, partai Islam no” yang diikuti oleh semuanya termasuk ormas yang tidak mempunyai visi politik, sehingga beribadah hanya dianggap secara ritual sementara politik tidak termasuk,” jelasnya.
Fuad menyebut, penyebab kedua, karena partai-partai yang mempunyai visi Islam tidak dikelola secara profesional, di antara faktornya membutuhkan modal yang besar. Selain itu, pelemahan pemahaman umat tentang partai Islam, sehingga ada istilah partai Islam vs partai nasionalis.
“Padahal istilah yang benar partai sekuler vs partai Islam, sehingga yang cinta dengan Indonesia tidak memilih partai Islam karena menganggap partai Islam tidak nasionalis. Padahal partai-partai Islam ya juga nasionalis,” ucapnya.
Untuk bisa memperbaiki kondisi politik, umat Islam harus disadarkan tentang pemahaman politik. Jangan sampai terpesona dalam proses pencitraan, karena citra adalah hal biasa. Semua orang harus mencitrakan dirinya baik.
“Semua calon legislatif yang nantinya menjadi anggota legislatif, maka dia pasti dikontrol oleh partai pendukungnya. Maka jangan sampai memisahkan antara person dan partai, track record perlu untuk diketahui tetapi visi partai juga sangat penting,” ungkapnya.
Fuad mengatakan, berislam harus menyeluruh, tetapi umat Islam pada umumnya lebih mengikuti syariat secara mahdhah (ibadah ritual). Perintah untuk mengembangkan, menyadarkan umat, mengajak umat sering ditinggalkan. Sehingga seorang muslim mengabaikan Islam politik, ini yang salah.
“Jadi efek salah dalam menentukan pilihan politik dalam kehidupan ada dua, dunia dan akhirat. Kekeliruan dalam berislam dalam bentuk ijtihad politik akan terasa di dunia, jadi efek dunia harus menjadi perhatian umat Islam. Manusia hidup di dunia dalam sistem pribadi, sistem keluarga dan sistem kenegaraan. Jika sistem di negeri tidak diurus dengan benar oleh pemimpin, pasti seluruh rakyat akan menderita,” ungkapnya.
Fuad mencontohkan, saat ada seseorang memerintahkan untuk tidak mengkonsumsi minuman keras dan berjudi. Itulah yang dinamakan sumbangsih Islam untuk masyarakat luas, suku apa pun, agama apa pun. Inilah perlunya misi politik, tidak mungkin dapat menampilkan sisi Islam yang rahmatan lil alamin jika tidak melalui politik.
“Karena sangat pentingnya Islam politik, saya mengimbau agar para ulama, ustaz dan cendekiawan muslim dalam setiap ceramahnya memasukkan materi Islam politik. Panduan berpolitik secara Islami. Esensi Islam politik mempunyai tujuan antara lain, pertama, jangan sampai masyarakat diserahkan kepada pemimpin yang salah. Kedua, pemimpin tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan aturan Allah SWT,” pungkas Ketua Umum Syarikat Islam Politik ini.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir