Suaramuslim.net – Ada hal menarik yang bisa dicermati dari Firman Allah ketika Nabi Musa marah besar melihat pengkhianatan akidah yang dilakukan kaumnya atas ulah seorang Samiri.
Mari kita selami Q.S. Al A’raf 154;
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الألْوَاحَ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ
“Sesudah amarah Musa menjadi reda. lalu diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.”
Sakata (سكت) yang diterjemahkan dengan mereda, secara bahasa berarti ‘diam’. Penisbatan “diam” kepada “marah” adalah dalam pengertian digambarkannya ‘’marah” sebagai Sosok yang sedang mengamuk, memerintah dan melarang dengan tidak lazim.
Zamakhsyari berkata; ini sebuah perumpamaan seolah-olah kemarahan itu telah menggoda Musa untuk melakukan apa yang ia lakukan, lalu membisikkan; ‘katakan kepada kaummu ini itu, dan lemparkan lauh itu dan tarik rambut saudaramu’. Namun kemudian tidak berbicara lagi dan tidak menggoda lagi sehingga mereda lah amarahnya.
Marah memang bisa berbicara kepada siapa pun untuk menggodanya karena itu marah memiliki tingkat hukum yang berbeda sesuai dengan keadaan yang memicunya.
A. Marah Yang Terpuji
1. Wajib Marah
Adalah jika masalah prinsip yang terhinakan baik itu menyangkut agama seperti penghinaan terhadap Al Quran, ajarannya dan lainnya.
Lihatlah kasus Abdullah bin Abi Syarrah, yang mengkhianati Nabi dan mengaku mengubah wahyu yang disampaikan ke Nabi.
Atau menyangkut kehormatan umat Islam atau ulamanya seperti pada kasus wanita yang diganggu oleh seorang Yahudi dari bani Qainuqa dengan menarik cadar yang menutup wajahnya. Itu membuat marah Rasulullah dan umat Islam yang akhirnya berujung kepada pengusiran bani Qainuqa dari Madinah.
Atau menyangkut kemungkaran atas pelanggaran syariat. Ini wajib marah ketika melihat ada yang berbuat mungkar secara terang terangan. Inilah yang terjadi kepada kasus Nabi Musa.
“Apabila kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan/kekuasaannya. Apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan ucapan/lisan (nasihat). Apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan hati. Dan yang terakhir, inilah wujud serendah-rendahnya iman. (H. R. Muslim).
2. Sunnah Marah
Adalah jika menyangkut masalah pendidikan anak-anak, atau menyangkut penghinaan terhadap pribadi.
B. Marah Yang Tercela
1. Makruh Marah Bahkan Haram
Adalah maunya marah-marah saja, meski pada hal-hal yang tidak penting, seperti ketidaksengajaan seseorang kepada dirinya (barang hilang, barang tertinggal dan lainnya).
Jika dengan marah itu menjadi madarat, dan disertai perkataan yang kotor, padahal masalahnya adalah persoalan yang tidak prinsip. Dan bagian dari unsur upaya balas dendam.
Pada kondisi seperti inilah marah itu harus dikendalikan, agar tidak membuat jiwa menjadi ‘gegana’ (galau gelisah dan merana).
Cara Mengatasi Marah
1. Usahakan berzikir dengan mengucapkan ta’awuz
Dari sahabat Sulaiman bin Surd beliau menceritakan, pada suatu hari saya duduk bersama Rasulullah. Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya memuncak.
Kemudian Rasulullah bersabda:
إِني لأعلمُ كَلِمَةً لَوْ قالَهَا لذهبَ عنهُ ما يجدُ، لَوْ قالَ: أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ، ذهب عَنْهُ ما يَجدُ
“Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’ uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Tidak Melayani Kemarahan Orang Lain atau Emosional
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika kalian marah, diamlah.” (H.R. Ahmad ).
3. Mengubah Posisi
Jika seseorang marah dalam kondisi berdiri, maka duduklah, dan jika masih marah, berbaringlah.
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah memberi nasihat;
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (H.R. Ahmad, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).
4. Marah Itu dari Setan dan Setan Terbuat dari Api
Padamkan dengan air yang dingin.
Terdapat hadis dari Urwah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan,
إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).
5. Selalu Belajar Nasihat Nabi Tentang Keutamaan Menahan Amarah
Dari Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قادرٌ على أنْ يُنفذهُ دعاهُ اللَّهُ سبحانهُ وتعالى على رءوس الخَلائِقِ يَوْمَ القيامةِ حتَّى يُخيرهُ مِنَ الحورِ العين ما شاءَ
“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi).
Wallahu A’lam