Peran ahli gizi dalam menjaga mutu program MBG

Suaramuslim.net“Mereka bukan sekadar profesional, tapi penjaga amanah bangsa”.

Di sebuah siang yang sejuk, di gubuk Kedungwaru, Ahad (28/9/2025), obrolan panjang mengalir antara Mas Mudlofar dari Blawi Kedungpring Lamongan dan tim SPPG Kedungwaru Tulungagung.

Ia datang bakda Zuhur dan baru pamit saat adzan Isya berkumandang. Di antara canda dan cerita, terselip satu tema yang menggetarkan nurani: peran ahli gizi dalam menjaga mutu program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN).

Program MBG, yang mulai direalisasikan sejak 6 Januari 2025, sempat melaju mulus. Saat itu, baru sekitar 159 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang aktif. Namun lima bulan kemudian, kasus keracunan muncul. Sebuah alarm bahwa di balik ompreng yang tersaji setiap pagi. Terdapat tanggung jawab besar yang tak boleh diabaikan. Di sanalah, peran ahli gizi menjadi jantung dari ikhtiar menjaga mutu program MBG.

Menu bergizi, antara ilmu dan nurani

“Menu yang kami sajikan tidak asal susun,” ujar Mbak Yeni, ahli gizi di SPPG Kedungwaru Tulungagung.

Di balik setiap porsi, ada proses panjang: diskusi, pengukuran, dan doa. Ahli gizi hadir sejak menyusun menu harian dan mingguan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG), usia anak, status gizi, dan ketersediaan bahan lokal. Mereka tidak sekadar menghitung kalori, tapi memahami bahwa anak-anak bukan angka, melainkan amanah.

Karbohidrat tak melulu nasi. Ada jagung, ubi, dan kentang. Buah dan sayur berganti-ganti, menciptakan kegembiraan di mata anak-anak: kelengkeng, jeruk, pepaya, anggur, semangka, salak, dan susu full cream.

“Anak-anak senang karena menunya berganti-ganti,” tambah Mbak Yeni.

Di sinilah ilmu bertemu nurani.

Dapur yang menjadi ladang amal

Di dapur SPPG, ahli gizi bukan relawan. Ia tenaga ahli. Ia penjaga kualitas dan keamanan asupan makanan. Tugasnya full time, dari pencucian bahan hingga pengemasan akhir. Ia memastikan takaran sesuai standar, teknik memasak tidak merusak zat gizi, dan suhu penyimpanan mengikuti protokol.

Setiap juru masak dilatih tentang prinsip gizi dan keamanan pangan. Tapi lebih dari itu, mereka diajak memahami nilai khidmat dan rasa syukur. Bahwa memasak untuk anak-anak bukan sekadar tugas, tapi ibadah. Bahwa setiap sayur yang bersih adalah bentuk cinta. Bahwa setiap gram protein yang tepat adalah ladang amal.

Di SPPG Kedungwaru, suhu masak harus mencapai 80°C. Baru boleh ditata di ompreng jika suhu sudah turun di bawah 30°C. Semua diukur dengan alat, bukan kira-kira.

Dokumentasi, bukti teliti dan integritas

Tak ada proses yang dibiarkan mengambang. Setiap langkah dicatat: lembar produksi harian, suhu, waktu, jumlah porsi, hingga evaluasi penerimaan makanan oleh anak-anak. Jika ada ketidaksesuaian, dilakukan koreksi. Dokumen-dokumen ini bukan sekadar arsip, tapi bukti bahwa program ini dijalankan dengan integritas.

Ahli gizi menjadi jembatan. Mereka menyusun indikator keberhasilan, menyelaraskan data dapur dengan hasil pengukuran status gizi anak, dan memberi masukan yang diterima semua relawan SPPG. Mereka tidak hanya bicara data, tapi juga membahas dampak.

Gizi merupakan hak, bukan sekadar program

Program MBG bukan hanya soal logistik dan nutrisi. Ia adalah cerminan dari nilai-nilai luhur, teliti, khidmat, dan membersamai. Ketika gizi dijaga, semangat belajar tumbuh. Ketika anak-anak merasa dihargai, mereka belajar menghargai diri dan sesama.

Ahli gizi dalam program ini bukan sekadar profesional. Mereka adalah pengkhidmat yang bekerja tulus. Hasilnya bergema dalam tumbuh kembang anak-anak Indonesia. Mereka tidak mencari pujian, tapi keberkahan.

Dan di tengah hiruk-pikuk kasus keracunan, mereka tetap berdiri di dapur-dapur SPPG, menjaga mutu, menjaga harapan. Walau hanya seorang diri untuk 2.500 hingga 3.500 anak, mereka tetap tegar. Ironisnya, di saat ada kasus maka muncul krisis kepercayaan. Dan ahli gizi dijadikan sasaran utama.

Antara harapan dan tantangan

Sering kali masyarakat ikut pola umum para netizen, menyalahkan tanpa memahami titik lemah. Padahal, di rumah sakit yang melayani 500 pasien, jumlah ahli gizi bisa mencapai 9 orang. Bagaimana dengan dapur SPPG? Hanya satu tenaga ahli gizi. Berkhidmat full time. Membersamai semua proses.

Di RSUD, semua menu dalam tanggung jawab ahli gizi. Sedangkan di dapur SPPG, kadang ada kasatpel yang belum berkenan memanfaatkan keilmuan ahli gizi. Bahkan ada mitra BGN yang memaksa ahli gizi mengikuti kehendak mereka. Mitra memasukkan agenda bisnisnya. Jika kehendak dari mitra BGN itu demi peningkatan kualitas, patut diapresiasi. Tapi jika demi minimalisasi, itu adalah pengingkaran terhadap hak anak-anak.

Program MBG merupakan amanah. Dan ahli gizi sebagai penjaga amanah itu. Mereka bukan sekadar profesi, tapi pelayan nilai. Di tangan mereka, gizi menjadi hak, bukan sekadar angka. Dan di dapur-dapur SPPG itulah, Indonesia sedang ditumbuhkan dengan cinta, ilmu, dan khidmat.

Imam Mawardi Ridlwan
Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.