Suaramuslim.net – Tidak mudah melepas tradisi rendah diri. Al-Qur’an sangat jeli menjelaskan watak rendah diri Bani Israil. Al-Qur’an merekam keberhasilan Fir’aun dalam membentuk watak Bani Israil sebagai pemilik mental budak.
Nabi Musa secara totalitas berjuang untuk membebaskannya dari cengkeraman Fir’aun. Allah memberi nikmat beragam kepada Bani Israil. Allah mengenggelamkan Fir’aun ke sungai Nil, memberi kecerdasan, dan mengutamakan dengan kaum yang lain.
Alih-alih berterima kasih, Bani Israil justru memprotes dan terkesan ingin mempertahankan pola hidup budak sebagaimana era Fir’aun. Dengan kata lain, memori sebagai bangsa budak sulit terhapus.
Betapa tidak, ketika diberikan makanan dari langit, mereka memprotes Nabi Musa agar didatangkan makanan lain. Mereka bosan dengan makanan seperti “Manna” dan “Salwa”. Mereka ingin makan makanan sebagaimana ketika menjadi budak Fir’aun.
Tradisi perbudakan telah mendarah daging pada Bani Israil sehingga sulit mengeluarkannya. Mental budak ini tertanam pula pada sebagian masyarakat kita yang lebih memilih tradisi konsumtif ala perkotaan daripada tradisi mandiri di kampung halamannya.
Tradisi perbudakan
Sejarah mencatat bahwa Fir’aun merupakan raja paling kejam dan congkak. Demikian kejamnya, membuat rakyatnya ketakutan dan tidak berani membangkangnya. Fir’aun dikenal sebagai pembunuh yang sadis. Kalau membunuh lawannya, dia menyiksa dengan mempergunakan alat yang menarik tangan dan kakinya ke arah yang berbeda. Dengan demikian, tangan dan kakinya terlepas. Terlebih lagi terhadap mereka yang tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan.
Tak pelak, Bani Israil pun hidup dalam ketakutan dan senantiasa menjalankan perintah Fir’aun. Tak pernah sekalipun berani membangkang. Hal ini membentuk karakter yang melekat.
Kebengisan dan kekejaman Fir’aun inilah yang mencetak mental rendah diri Bani Israil dengan pola kehidupan tertindas. Dengan kata lain, kepemimpinan hidup Fir’aun membentuk pola pikir Bani Israil yang sulit dihilangkan.
Karakter budak itu secara reflektif muncul dengan sendirinya. Dalam suasana yang merdeka, ketika di bawah kepemimpinan Nabi Musa, Bani Israil memprotes anugerah makanan dari langit. Makanan berupa Manna (makanan manis seperti madu) dan Salwa (sejenis burung) ditolaknya, dan menginginkan makanan sebagaimana ketika diperbudak Fir’aun.
Tak bisa dipungkiri, permintaan makanan dari bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah, membuat Nabi Musa marah. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:
وَاِ ذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نَّصْبِرَ عَلٰى طَعَا مٍ وَّا حِدٍ فَا دْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِۢتُ الْاَ رْضُ مِنْۢ بَقْلِهَا وَقِثَّـآئِهَا وَفُوْمِهَا وَعَدَسِهَا وَ بَصَلِهَا ۗ قَا لَ اَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِيْ هُوَ اَدْنٰى بِا لَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ ۗ اِهْبِطُوْا مِصْرًا فَاِ نَّ لَـکُمْ مَّا سَاَ لْتُمْ ۗ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَا لْمَسْکَنَةُ وَبَآءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ ۗ ذٰلِكَ بِاَ نَّهُمْ كَا نُوْا يَكْفُرُوْنَ بِاٰ يٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيّٖنَ بِغَيْرِ الْحَـقِّ ۗ ذٰلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَا نُوْا يَعْتَدُوْنَ
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah.”
Dia (Musa) menjawab, “Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.”
Kemudian, mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas.” (Q.S. Al-Baqarah: 61).
Atas pembangkangan itu, Allah menistakan mereka dengan hidup miskin. Mereka hidup terlunta-lunta dan selalu menyelisihi perintah nabinya. Dan tidak jarang membunuh nabi dan rasul yang mengajak untuk mengikuti perintah Allah.
Tradisi membangkang
Protes Bani Israil karena satu makanan itu membuat Nabi Musa marah karena dianggap tidak bersyukur dengan karunia Allah. Pemberian makanan yang sangat mudah dan nikmat rasanya tidak membuatnya bersyukur. Maka pantas apabila Nabi Musa memerintahkan mereka kembali ke kota untuk menikmati perbudakan kembali bersama komunitas Fir’aun.
Karena pembangkangan itulah maka Allah menistakan hidup mereka. Mereka senantiasa ditindas oleh bangsa lain, sehingga hidupnya terlunta-lunta. Ini merupakan bentuk kemurkaan Allah pada Bani Israil yang suka protes, dan mengingkari serta menentang ayat-ayat Allah dengan melawan perintah nabi yang diutus kepadanya.
Potret Bani Israil yang merasa nyaman dengan tradisi perbudakan, terwariskan pada sebagian masyarakat kita.
Para pemuda desa terbiasa dengan pola hidup kota dengan budaya konsumtif. Mereka tidak mau mengolah sawah dan ladang milik orang tuanya. Mereka tidak mau bersusah payah mengolah sawah ladangnya secara merdeka. Mereka terjebak dengan budaya kota yang instan dengan membeli secara mudah.
Aneka buah di pasar swalayan atau super market menjadi sasaran meski dengan mengeluarkan uang. Padahal kalau mereka bisa hidup merdeka dengan mengelola sawah ladang sehingga bisa menjadi pemasok buah dan sayuran di kota.