PALU (Suaramuslim.net) – Wajahnya terlihat pasrah. Perutnya yang terus membesar sudah tidak ia hiraukan. Surantina (38), warga Kampung Bamba Kadongo, Kelurahan Panau, Kecamatan Taweli, Kota Palu ini tengah hamil 8 bulan ketika gempa terjadi.
Pada Jumat (28/9) sore, seperti biasa ia berada di rumah bersama anak lelakinya yang berusia 10 bulan, Jestin Rafasya. Sang suami, Jefrie (29) baru saja pulang kerja. Surantina duduk santai di depan rumah yang menghadap ke Pantai Bamba. Mendadak, bumi berguncang hebat. Dinding rumah mereka pun terbelah.
“Saya refleks langsung lari ke luar rumah sambil gendong Jestin di bahu. Saya tak peduli lagi hamil. Yang saya pikirkan bagaimana saya dan anak saya selamat,’’ jelas Surantina.
Lututnya sempat terantuk batu. Tapi, Surantina tak mau menyerah. Ia berlari sekuat tenaga hingga menjauhi pantai dan mendekati bukit. Mungkin, hingga dua kilometer jauhnya.
Suaminya, Jefrie, sibuk menyelamatkan ibu dan saudara-saudaranya yang masih di rumah. Alhamdulillah semua anggota keluarga selamat.
“Sekarang tinggal di pengungsian di Desa Anja. Tak terlalu jauh dari sini,’’ jelas wanita kelahiran Yogyakarta ini saat menengok ke reruntuhan rumahnya bersama sang suami untuk mencari sesuatu yang masih bisa dimakan.
Dikatakan Surantina, sejak gempa dengan magnitudo 7,4 skala richter yang terjadi pada tiga hari yang lalu, ia kesulitan memperoleh makanan.
Tak terasa air mata Surantina mengalir membasahi pipinya saat ditanya apa yang dimakan selama kurang lebih empat hari tinggal di hutan. Sambil meneteskan air mata, dirinya menjawab bahwa mereka hanya makan seadanya, anaknya juga hanya dikasih air gula.
“Hanya air gula saja pak, kita juga makan apa adanya, ada ubi kita makan,” jelasnya, sambil meneteskan air mata.
Pakaian pun, kata Surantina, hanya yang melekat di badan saja. Oleh karena itu, ia heran dengan belum adanya sedikit pun bantuan yang ia terima dari pemerintah. Padahal, rumahnya jelas-jelas hancur. Makanan tidak ada. Minum pun tak lagi dari air bersih.
“Kami minum dari air sungai. Kami masak. Airnya kami endapkan,’’ ujarnya.
Surantina dan suaminya tak pernah menjarah. Ia tak berani sedikit pun menghentikan kendaraan yang membawa bantuan. Menurut Surantina, para pelaku penjarahan justru didominasi oleh orang luar Palu, yang bukan pengungsi.
“Kami ini masih trauma, Pak. Mana berani kami berbuat itu (menjarah, red). Kami hanya minta diperhatikan oleh pemerintah, terutama minuman dan makanan. Itu saja,’’ ungkapnya.
Hal lain yang menjadi beban pikiran Surantina adalah kehamilannya. Memasuki usia 8 bulan, ia bingung mengenai persalinannya. Saat diperiksa terakhir satu bulan yang lalu, dokter menyatakan janin dalam kandungannya berada dalam posisi melintang.
“Harus caesar kata dokter. Uang dari mana? Sekarang saja cuma punya uang Rp 200 ribu. Tak bisa dipakai. Tak ada warung yang buka untuk sekadar beli susu untuk anak saya,’’ keluhnya.
Ia hanya berharap bisa diterbangkan ke Bandung menggunakan pesawat Hercules. Kakaknya yang berada di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung berjanji akan mengurus persalinannya jika bisa ke Bandung.
“Tolong tanyakan ya pak. Barangkali saya bisa ke Bandung. Tolong ya pak,’’pungkasnya.
Sumber: Saifal/ INA News Agency
Editor: Muhammad Nashir