Suaramuslim.net – Ada narasi menyesatkan di lingkungan Nahdliyyin atau warga NU yang cukup masif. Salah satu yang mengamplifikasi narasi itu adalah Saifullah Yusuf, seorang politisi yang sedang menduduki jabatan Sekjen PBNU.
Narasi itu kurang lebih berbunyi: “Jangan pilih Capres yang didukung oleh Wahabi, HTI, FPI dan sebangsanya. Oleh Saifullah dinisbatkan ke individu dengan mengatakan “Jangan pilih Capres yang didukung oleh Abu Bakar Ba’asyir….”
Semua orang tahu yang dimaksud oleh narasi itu, termasuk yang dimaksud oleh Saifullah Yusuf adalah jangan pilih Anies-Muhaimin (AMIN).
“Nasihat” dari Saifullah Yusuf itu ibarat kampanye boikot produk-produk Israel, tetapi salah alamat. Boikot Saiful berbunyi: “Jangan beli barang yang dibeli oleh orang Israel!”
Penyimpangan argumentasi atas tema sensitif di saat situasi masyarakat sedang dalam proses menimbang-nimbang untuk mengambil keputusan, sungguh jahat.
Narasi (argumentasi) itu seolah-olah masuk akal. Karena secara paham keagamaan memang terjadi perbedaan antara NU dan kelompok yang dikenal “kanan” dan “garis keras” seperti HTI, FPI, Wahabi dan sebagainya.
Perbedaan itu menjadi semakin rumit karena keduanya terus saling menyerang dan bertahan. Para dai dari keduanya selalu memanfaatkan panggung pengajian untuk memagari umatnya agar tidak terpengaruh. Tidak jarang muncul istilah-istilah yang memperumit hubungan keduanya.
Politik Multi Partai
Fakta politik Indonesia era reformasi ini adalah politik multi partai. Sementara syarat bagi partai politik agar bisa mengusung calon presiden (Capres), calon gubernur (Cagub), calon bupati (Cabup) atau calon walikota (Cawalkot) adalah harus memenuhi 20% jumlah suara atau kursi yang diperoleh pada Pemilu sebelumnya. Karena perolehan suara/kursi mereka tidak memenuhi syarat 20%, konsekuensinya partai-partai, suka atau tidak, harus saling kerja sama (koalisi) untuk memenuhi syarat itu.
Berkaitan dengan PKB sebagai partai yang didirikan oleh NU juga harus bekerjasama dengan partai lain. Yang menjadi pertanyaan adalah bolehkah PKB berkoalisi dengan partai yang berbeda atau bertentangan dengan ideologi politik yang dipegang teguh oleh NU?
Sekadar mengingatkan kita, Gus Dur bisa menjadi presiden karena diusung oleh partai-partai Islam, yakni PKB, PAN, PK (sekarang PKS), PBB dan PPP.
Tetapi di jaman Mbah Wahab Hasbullah, Partai NU berkoalisi dalam NASAKOM yakni koalisi tiga partai dengan ideologi yang sangat berbeda dan saling bertentangan, yakni PNI (mewakili ideologi Nasionalisme Sekuler), Partai NU (mewakili ideologi Agama) dan PKI (mewakili ideologi Komunisme).
Ideologi Partai-Partai
Perlu dikemukakan bahwa hampir semua partai yang ada di Indonesia saat ini bisa dianggap berbeda ‘ideologi politiknya’ dengan NU. Berikut penjelasan ringkasnya:
PKS adalah partai Islam yang secara ideologis mendukung formalisasi syariat Islam berbeda dengan NU dan PKB yang lebih mengutamakan inklusifitas, melihat perjuangan syariat Islam tidak harus dengan formalisasi, melainkan substansi.
PAN dianggap representasi dari Muhammadiyah, walaupun Muhammadiyah sering menegaskan netral secara politik.
PBB dianggap kelanjutan dari Masyumi di mana NU terlibat dalam pendirian Masyumi tetapi pada tahun 1953 keluar dari Masyumi. Artinya, NU dan Masyumi pernah konflik keras yang diekspresikan dengan saling serang menggunakan tema ideologi.
Golkar dianggap sebagai partai yang berkuasa selama 32 tahun dengan rekam jejaknya yang menindas kepentingan politik NU.
PDIP adalah partai hasil fusi dari partai-partai non Islam yang semula bernama PDI (tanpa P). Pendiri PDI adalah Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), Partai Katolik, PNI, MURBA yang berhaluan komunisme sosialisme dan IPKI. PDIP sangat jelas berideologi yang bertentangan dengan NU.
Tentu akan memakan tempat jika diuraikan semua jati diri (ideologi) partai-partai yang ada di Indonesia. Tetapi yang jelas, semua partai berbeda haluan ideologinya dengan NU.
Sekarang ketika Pilpres 2024 ini PKB berkoalisi dengan PKS dipersoalkan oleh sebagian orang-orang NU yang tidak mendukung Anis-Muhaimin. Mereka mempengaruhi Nahdliyin agar tidak mendukungnya karena jika AMIN menang dikhawatirkan pemerintahannya akan disetir oleh kelompok kanan semacam HTI, Wahabi, Abu Bakar Ba’asyir, dll.
Mereka lupa. Bukankah jika orang NU mendukung Ganjar-Mahfud (GAMA) juga akan mengalami hal yang sama?
Para pendukung GAMA juga akan memengaruhi jalannya pemerintahan GAMA. Kita tahu bahwa salah satu partai pendukung GAMA adalah PDIP yang di dalamnya adalah kumpulan dari gerakan politik Kristen, Katolik, dan Nasionalis. Semua bertentangan dengan kepentingan ideologis NU.
Bahkan di antara pendukung GAMA ada unsur Partai MURBA yang pada masa berdirinya dianggap merupakan pengganti atau pelanjut dari PKI. Sejarah mencatat PKI pernah memberontak NKRI dan membunuh para kiai NU. Dan yang jelas, MURBA sendiri secara eksplisit menyebut dirinya berideologi komunisme sosialisme.
Kemudian kalau orang NU mendukung Prabowo-Gibran juga sama. Partai-partai pendukungnya juga berbeda ideologi dengan NU. Di sana ada Golkar yang dengan pemerintahan Orde Baru membuat NU menderita selama 32 tahun. Ada Gerindra sebagai pecahan dari Golkar. Ada PAN dan ada PBB. Bahkan ada Gelora yang merupakan pecahan dari PKS.
Walhasil, PKB (NU) berkoalisi dengan partai apapun adalah berkoalisi dengan partai yang berbeda ideologi politiknya. Karena itu salah satu pertimbangan utama yang mungkin tepat bagi Nahdliyin di dalam menentukan aspirasi politiknya pada Pilpres di era multi partai ini adalah: “Pasangan mana yang ada kader NU-nya?”
Pada Pilpres 2024 ada tiga pasangan dan hanya ada dua di antaranya yang terdapat calon yang jelas sebagai orang NU, yakni Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Muhaimin berpasangan dengan Anis, sedangkan Mahfud berpasangan dengan Ganjar.
Satu pasangan lainnya, Prabowo dan Gibran sama sekali tidak ada kaitannya dengan NU baik struktural maupun kultural. Keduanya tidak pernah terlibat dalam program ke-NU-an dan sama sekali tidak pernah menjadi pengurus atau aktivis NU, keduanya bukan keturunan dari keluarga NU dan tidak ada unsur ke-NU-an sama sekali. Karenanya tidak layak dipertimbangkan oleh warga NU.
Jika ada dua atau lebih orang NU mencalonkan diri, maka poin penting yang menjadi pertimbangan adalah siapa yang lebih jelas kekaderannya. Secara singkat tingkat kekaderan Muhaimin dan Mahfud bisa didiskripsikan sebagai berikut:
– Keduanya pernah menjadi pimpinan di partainya NU (PKB), Muhaimin sampai sekarang adalah Ketua Umum PKB sedangkan Mahfud pernah menjadi Wakil Ketua Umum PKB.
– Keduanya aktivis organisasi mahasiswa. Muhaimin pernah menjadi Ketua Umum PMII, sebuah organisasi mahasiswa di lingkungan NU. Sedangkan Mahfud pernah aktif di HMI, organisasi mahasiswa yang berafiliasi kepada MASYUMI.
– Keduanya menjadi pendiri partai. Muhaimin anggota Tim 9 yang merumuskan konsep tentang pendirian PKB, partainya NU. Sedangkan Mahfud ikut merumuskan konsep tentang PAN, partai yang berbasis Muhammadiyah. Dia juga salah seorang deklarator dan pernah menjadi pengurus PAN.
– Muhaimin menjadi Cawapres dari Anies Baswedan dan diusung oleh PKB (partai yang didirikan oleh NU), Nasdem dan PKS. Sedangkan Mahfud menjadi Cawapres dari Ganjar yang diusung oleh PDIP (Partai hasil penggabungan partai-partai non Islam, nasionalis dan komunis).
– Keduanya adalah santri pesantren. Muhaimin putera seorang kiai pengasuh pesantren dan nyantri di pesantrennya dan beberapa pesantren lainnya. Sedangkan Mahfud bukan putera dari kiai pengasuh pesantren.
– Muhaimin cicit dari KH. Bisri Syansuri, salah seorang pendiri NU. Sedangkan Mahfud bukan keturunan pendiri NU.
Selamat menimbang-nimbang dengan jujur, obyektif, ikhlas dan hindari emosi yang berlebihan.
Ihdinash-shirothol mustaqiiim.