Suaramuslim.net – Besar amanat besar pula pahalanya. Tetapi besar amanat juga memungkinkan mendatangkan dosa yang besar. Kira kira begitulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan spesialnya arti sebuah kepemimpinan. Ia bisa saja membawa pelakunya mendapatkan pahala yang besar karena memang kebaikan yang ia kerjakan bisa berdampak pada kebaikan bagi masyarakat luas. Namun di sisi lain, bagi mereka yang curang dengan kepemimpinannya, dosa dan siksa yang besar pula telah disiapkan baginya.
Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits yang menerangkan bahwa pemimpin adalah salah satu ahli surga bila ia bisa bersikap adil. Rasulullah bersabda, “Orang-orang ahli surga ada tiga macam: pemimpin yang adil, ia mendapat taufiq hidayat ( dari Allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri”. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang selalu berusaha menyempurnakan pengabdiannya kepada Allah sehingga taufiq Allah senantianya menyertainya. Melalui kepemimpinannya ia berusaha untuk menjaga rakyatnya dengan panduan syariat yang telah dibawa oleh Rasul-Nya.
Maka sebaliknya, ketika seorang pemimpin mendustai agamanya, maka ia tidak akan bersikap adil. Hal tersebut sudah menjadi sebuah akibat yang pasti muncul karena ia mengingkari petunjuk Allah dalam agama-Nya. Lebih lagi bila dia tau bahwa Islam adalah agama paripurna yang telah disempurnakan Allah sebagai nikmat terbesar umat manusia. Agama Isalam hadir untuk menjadi pegangan hidup dan bahkan jalan hidup yang harus dilalui oleh mereka yang menginginkan kebahagiaan sempurna. Karena ketika ia mengingkari petunjuk tersebut, ia akan mengalami kebingungan dalam menjalani hidup dan kemudian membuat aturan sendiri yang tidak jarang luput dari kebenaran dan pelan-pelan membawanya pada tepi jurang kehancuran.
Selaras dengan hal tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Ibrahim ayat 28 bahwa, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?”.
Imam Thobari dalam tafsirnya menerangkan perihal ayat ini bahwa ancaman dalam ayat ini ditujukan kepada siapapun yang telah mengingkari nikmat Allah. Dalam konteks sejarahnya, ayat ini ditujukan kepada kamun kafir Quraisy yang mengingkari nikmat Allah berupa diutusnya Nabi Muhammad kepada mereka. Perbuatan mereka seperti mencemooh, menghina, mengkriminalisasi hingga mengusirnya adalah bentuk-bentuk kekufuran atas nikmat Allah. Balasan bagi mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Penolakan mereka terhadap Nabi Muhammad bisa diartikan dengan penolakan terhadap Islam. Sebab, penolakan terhadap risalah Nabi Muhammad sama saja menolak ajaran yang dibawanya. Dengan menolak Islam sebagai misi risalah Nabi Muhammad, para pemimpin Makkah waktu itu tanpa sadar telah membawa kaumnya menuju lembah kebinasaan. Apabila Rasulullah tidak rela atas perlakuan tersebut, dan kemudian pergi meninggalkan mereka, bisa jadi kota Makkah dan masyarakatnya tidak pernah dikenal dunia. Tapi dengan kegigihannya, dan semangat Rasulullah yang mengalahkan segala tantangan tersebut, Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hingga kota kecil di tengah gurun tersebut bisa dikenal dan menjadi tujuan ibadah oleh seluruh manusia. Itu semua berkat nikmat Allah berupa Islam dan rasul-Nya, Muhammad sallallahu ‘alaihi wa salam.
Nikmat Islam yang telah diturunkan oleh Tuhan semesta alam dan dibawa oleh utusan-Nya berisi tentang tata cara hidup serta panduan kerja yang memiliki tujuan pasti. Menolaknya berarti sama saja dengan kesombongan. Pada ayat tersebut disebutkan bahwa ciri dari mereka yang menolak Islam adalah merubah sesuatu yang jelas-jelas haram menjadi halal. Dan sebaliknya, menjadikan yang halal terlihat haram.
Perubahan nilai halal haram ini memberikan dampak yang besar. Karena sesuatu hal wajib dikerjakan menjadi ditinggalkan, sedangkan sesuatu yang haram dan seharusnya ditinggalkan malah dikerjakan. Maka tidak heran bila kesemrawutan bakal terjadi. Pelaksanaan maksiat secara massal akan memunculkan kekacauan yang besar pula, dan akibatnya pun fatal.
Sebut saja perilaku seks bebas dengan dalih kebebasan individu berakibat pada penyebaran penyakit HIV/AIDS. Perjudian yang dilegalkan akan berimbas pada kesenjangan sosial dan menurunnya kinerja seseorang karena akan terlena dalam permainan judi yang menjanjikan hasil yang lebih cepat. Lebih lagi dampak sosialnya, ia akan lupa pada kewajibannya dan fokus pada kepentingan pribadinya. Lebih besar lagi, akibat yang ditimbulkan dari penolakan akan nikmat Islam ini adalah praktik syirik dengan segala bentuknya. Bahkan menolak syariat sebagai pedoman hidup pun sudah selangkah menuju kesyirikan.
Pada ayat 30, sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya, Allah memastikan ciri orang yang telah menolak nikmat Islam tadi dengan upaya untuk membuat tuhan tandingan bagi Allah demi melegalkan hasrat mereka. Entah melalui revisi undang-undang, kebijakan-kebijakan publik dan lainnya. Masyarakat mereka hasut dengan segala macam tipu daya agar bersama mereka. Alhasil, masyarakat pun tersesatkan karena kesesatan para pemimpinnya yang telah mendustai Allah. Uniknya disini, Allah seakan mencibir kesombongan mereka dengan membiarkan mereka berpuas-puas diri dan bersenang-senang di dunia karena pada akhirnya mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam untuk selama-lamanya.
Kondisi seperti ini tentu tidak diinginkan oleh siapa pun. Siapa yang mampu melakukan pencegahan agar kondisi sosial tidak jatuh seperti yang digambarkan pada ayat tersebut? Seperti dalam kaidah maqashid syari’ah di mana syariah dibuat dengan tujuan utama yaitu mencegah kerusakan, maka para ulama ahli syariah adalah mereka yang berada di garda terdepan dalam mencegah kerusakan sosial. Mematuhi dan belajar dari mereka adalah langkah konkret dalam menjaga stabilitas sosial agar tidak terjerumus pada nilai-nilai maksiat.
Ulama sebagai para pewaris kenabian memiliki tanggung jawab yang besar untuk mencegah masyarakat menuju lembah kehancuran yang disebabkan karena keingkaran mereka terhadap Islam. Perlu disadarkan bahwa Islam tidak hanya untuk umat Islam saja, melainkan bagi seluruh umat manusia. Hanya saja memang, terkhusus bagi kaum muslim karena telah berislam. Upaya pencegahan dengan penyuluhan kepada umat Islam agar tidak mengikuti hasrat nafsu harus selalu diupayakan.
Seperti pada ayat selanjutnya, yaitu ayat 31, Allah berfirman kepada Nabi Muhammad tentang cara yang harus ditempuh agar umat manusia tidak terjerumus pada tipu daya maksiat. Umat Islam harus selalu istiqomah dalam shalatnya karena shalat memang salah satu cara utama untuk mencegah perbuatan keji dan munkar. Selain itu, hendaknya mereka senantiasa menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah entah secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Hal ini dimaksudkan agar seluruh manusia mengetahui bahwa rahmat masih selalu ada melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman. Dengan begitu mereka bisa segera menyadari sebelum waktu kebinasaan menghampiri. Di sisi lain, Allah memberikan kesempatan bagi orang-orang yang beriman untuk menabung demi bekalnya di akhirat kelak. Karena bila waktu itu telah tiba, tidak ada kesempatan lagi bagi siapa pun untuk menolak ketetapan yang telah ditentukan didasarkan pada pebuatan mereka sendiri.
Demikianlah posisi ulama di era sekarang. Sebagai tongkat estafet yang meneruskan perjuangan para Rasulullah ulama tentu akan dihadapkan pada banyak tantangan dan cobaan. Akan tetapi semua itu bukanlah alasan untuk lari karena nasib umat ada ditangan mereka. Motivasi inilah yang selalu menjadi pemompa para nabi-nabi terdahulu. Di mana mereka membantah seluruh tuduhan atas motif dakwah mereka dengan menjawab bahwa mereka tidak mengharapkan imbalan dari sesama manusia. Apalagi mencari jatah balasan dari para penguasa, akan tetapi balasan dari Allah lah yang selalu berada di dalam doa mereka dan itu adalah sebaik-baiknya balasan.
Segala cobaan yang datang dari banyak pihak harus dihadapi dengan kebijaksanaan karena memang dalam jalan dakwah tidak ada cara pemaksaan. Akan tetapi bila kondisi mengharuskan jiwa raga siap dikorbankan demi tegaknya Islam. Namun meski demikian, yakinlah bahwa tidak semua penguasa memusuhi Rasulullah. Sebut saja Najasyi dari Habasyah, kemudian penguasa Mesir yang percaya pada Nabi Yusuf, kemudian Thalut yang dibantu oleh Daud. Itu adalah nama-nama penguasa yang sadar akan pentingnya posisi Nabi dalam sistem sosial yang mereka jalankan.
Kesadaran tersebut hadir sebagai buah manis hasil perjuangan yang tidak sederhana. Semoga para penguasa memahami hal ini sebagai jalan yang telah diberikan Allah subhanahu wa ta’ala bagai nusa dan bangsa. Amiiin. Wallahu a’alam bi ash showab*
Kontributor: Fuad Muhammad Zein
Editor: Oki Aryono
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net